Saat Anda didiagnosis mengalami infeksi bakteri, dokter biasanya akan meresepkan antibiotik untuk mengatasinya. Namun, antibiotik diduga dapat memiliki efek samping pada kesehatan mata, seperti sebabkan ablasi retina. Bagaimanakah faktanya?
Mengenal ablasi retina
Bola mata manusia terisi oleh suatu cairan gel vitreous sebagai penyokong bentuk. Pada kondisi tertentu, seperti pertambahan usia, fungsi cairan gel ini menjadi berkurang dan dapat menyebabkan lapisan retina menjadi tertarik. Saat retina terlepas dari dinding dalam bola mata, terjadilah ablasio retina.
Hati-hati, ini merupakan suatu kegawatdaruratan medis. Pasalnya, lepasnya retina akan mengakibatkan gangguan fungsi retina. Saat tidak diobati, semakin besar risiko Anda untuk mengalami kehilangan penglihatan permanen pada mata yang terkena.
Kondisi terparah yang dapat dialami pasien ablasi retina adalah hilangnya kemampuan penglihatan atau kebutaan.
Ablasi retina tidak menimbulkan rasa sakit, tetapi ada beberapa gejala sebelum retina terlepas. Gejala itu meliputi:
- penglihatan kabur
- kehilangan sebagian penglihatan, seolah-olah ada tirai yang ditarik melintasi bidang penglihatan Anda, dengan efek bayangan gelap
- ada kilatan cahaya tiba-tiba yang muncul saat melihat ke samping
- tiba-tiba melihat banyak bintik hitam di bidang penglihatan
Ablasi retina karena antibiotik?
Beberapa tahun ini, terdapat beberapa laporan yang menyatakan bahwa penggunaan antibiotik, khususnya golongan fluorokuinolon, seperti ciprofloxacin dan levofloxacin, berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian ablasi retina.
Antibiotik golongan fluorokuinolon dianggap dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan ikat tempat melekatnya retina sehingga menjadi mudah terlepas.
Satu studi di Kanada menyatakan bahwa penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon meningkatkan risiko terjadinya ablasi retina hingga 4,5 kali lipat. Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan karena ablasi retina dapat menyebabkan kebutaan apabila tidak diobati dengan segera.
Kedua, obat golongan fluorokuinolon merupakan salah satu jenis obat yang paling sering diberikan untuk mengatasi penyakit, seperti infeksi saluran pernapasan dan juga saluran kemih.
Studi kasus di Cina menemukan kesimpulan serupa, yaitu terjadi peningkatan sebesar dua kali lipat. Selain itu, rata-rata kasus ablasi retina terjadi setelah sekitar 35 hari penggunaan fluorokuinolon.
Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, studi dalam lingkup yang lebih besar di Prancis dan Amerika menampik temuan-temuan tersebut. Data dari penelitian tersebut memang mendapatkan bahwa terdapat peningkatan risiko terjadinya ablasi retina, tapi tidak signifikan.
Faktor risiko lainnya, seperti peningkatan usia, adanya riwayat tekanan darah tinggi, benturan pada mata, riwayat operasi mata, dan riwayat keluarga, dinilai lebih banyak berpengaruh. Sayangnya, belum ada langkah pasti untuk mencegah ablasi retina. Namun jika sudah mengalaminya─dan menderita diabetes─Anda harus menjaga tekanan darah dan rutin konsultasi dengan dokter untuk melindungi kemampuan penglihatan Anda.
Kesadaran penggunaan antibiotik kurang
Untuk meminimalkan risiko di atas, pengonsumsian antibiotik yang tepat dan sesuai indikasi adalah paling utama. Namun sayang, di Indonesia, kesadaran masyarakat tersebut masih sangat kurang.
Hal ini terlihat dari data WHO yang menunjukan peningkatan penggunaan antibiotik yang diikuti dengan resistensi antibiotik. Masih banyak masyarakat yang belum paham benar mengenai dampak negatif penggunaan antibiotik secara berlebihan, apalagi bila tidak mendapatkan anjuran dokter.
Kebenaran antibiotik sebabkan ablasi retina hingga saat ini masih menjadi kontroversi di antara para ahli. Meski demikian, Anda sebagai pengguna tetap harus bijaksana saat mengonsumsi antibiotik, yaitu tepat dosis dan tepat indikasi. Apabila gejala ablasi retina mulai dirasakan atau dicurigai, sebaiknya segera konsultasi dengan dokter spesialis mata untuk perawatan lebih lanjut.
[HNS/RPA]