Tahun baru menjadi waktu yang tepat bagi Indonesia untuk mengevaluasi diri dan membuat resolusi baru dalam dunia kesehatan. Ada beberapa masalah gizi di masa lampau yang sudah tertangani, seperti kurang vitamin A dan kurang yodium. Dua masalah tersebut sudah berkurang karena adanya peran pemerintah yang mewajibkan fortifikasi minyak goreng dan margarin dengan vitamin A.
Karena rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi makanan yang digoreng, maka secara otomatis kebutuhan vitamin A dapat tercukupi melalui minyak tersebut. Kekurangan yodium pun dapat tertangani sejak pemerintah mewajibkan penambahan yodium ke dalam garam. Rasanya, garam tidak dapat dipisahkan dari proses memasak sehari-hari sebagian besar masyarakat Indonesia.
Terlepas dari masalah gizi yang telah berhasil diatasi oleh pemerintah, Indonesia masih dibebani oleh dua masalah gizi yang bertolak belakang bagaikan dua mata pedang: gizi kurang (malnutrisi) dan gizi lebih (obesitas). Gizi kurang dipandang sebagai masalah gizi yang “lumrah” dialami oleh negara berkembang seperti Indonesia. Namun, mengapa masalah gizi lebih yang dipandang hanya dimiliki oleh negara maju juga dimiliki oleh Indonesia?
Gizi kurang (malnutrisi)
Malnutrisi adalah masalah klasik Indonesia sejak dahulu kala yang belum dapat ditangani dengan optimal hingga sekarang. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar dari tahun 2007 hingga 2018, terdapat tren peningkatan angka malnutrisi di Indonesia, terutama pada balita.
Pada tahun 2007 dan 2010, balita yang mengalami gizi kurang berjumlah 13%. Angka ini sedikit meningkat pada tahun 2013 menjadi 13,9%, dan relatif stagnan pada tahun 2018 di angka 13,8%.
Dua hal yang banyak disorot dari gizi kurang ini adalah masalah stunting (pendek) dan wasting (kurus). Stunting adalah masalah gizi yang terjadi akibat kurang gizi kronis yang terjadi dalam jangka panjang, sehingga tubuh anak gagal bertumbuh mencapai tinggi yang seharusnya untuk usianya. Stunting bukan hanya masalah tubuh yang pendek, tetapi dapat meningkatkan risiko anak terkena gangguan perkembangan saraf dan kognitif serta terkena penyakit tidak menular kelak.
Persentase balita pendek di Indonesia adalah 18% (2007), 17,1% (2010), 19,2% (2013), dan 19,3% (2018). Sementara angka balita sangat pendek berhasil turun menjadi 11,5% (2018) dari 18,8% (2007).
Gizi lebih (obesitas)
Tidak hanya memiliki masalah gizi kurang, Indonesia pun dibebani oleh masalah gizi lebih sehingga terjadilah beban ganda. Dari mana masalah ini berasal?
Masyarakat Indonesia dikenal senang mengonsumsi makanan gorengan dalam jumlah besar. Berbagai menu makanan diolah dengan cara digoreng. Ikan goreng, tempe tahu goreng, gorengan jajanan di pinggir jalan, dan lainnya.
Seperti diketahui, makanan yang digoreng mengandung kalori yang lebih tinggi daripada makanan yang direbus, dikukus, ditumis, dan dipanggang, karena tambahan lemak dari minyak. Dibandingkan karbohidrat dan protein, lemak juga mengandung kalori paling banyak.
Selain gorengan, masyarakat Indonesia juga dikenal gemar mengonsumsi minuman manis, terutama kopi, teh, dan jus kemasan. Penelitian telah menunjukkan secara konsisten bahwa orang yang sering minum minuman bergula, seperti soda dan jus kemasan, memiliki berat badan yang lebih dibandingkan orang yang tidak.
Mi instan juga tak ketinggalan menjadi salah satu penyumbang kalori terbanyak penyebab gizi lebih. Asosiasi Mi Instan Dunia di Jepang mengungkap bahwa Indonesia adalah negara konsumen mi instan terbesar kedua di dunia setelah Cina, dengan total konsumsi 14,5 miliar bungkus per tahun.
Mi instan mengandung kalori yang cukup besar dengan protein, vitamin, dan mineral yang minim. Apalagi, ada masyarakat yang memiliki kebiasaan mengonsumsi mi instan sebagai lauk nasi. Hal ini tentunya menggandakan asupan kalori yang masuk ke dalam tubuh.
Penting sejak kanak-kanak
Untuk mencegah terjadinya masalah gizi tersebut, penting untuk memeriksa anak secara berkala ke posyandu, terutama sejak masih bayi, agar diketahui apakah tumbuh kembang anak dalam jalur yang normal atau tidak. Jangan tunggu hingga berat badan atau tinggi anak tidak naik-naik, bahkan turun. Apabila mencurigai kelainan pada tumbuh kembang anak, jangan sungkan untuk segera berkonsultasi kepada dokter.
Anda juga harus mengenalkan menu makanan sehat kepada anak sejak dini dan meminimalkan kebiasaan anak jajan, terutama jajanan yang kurang sehat dan dapat menyebabkan peningkatan berat badan. Anak yang gemuk belum tentu berarti sehat. Kelebihan berat badan maupun obesitas pada anak justru dapat meningkatkan risiko penyakit pada kemudian hari.
Jangan sepelekan masalah gizi ini. Mulailah dari lingkungan terdekat dulu, yakni keluarga Anda. Dengan demikian, Anda tak hanya menolong keluarga tetapi juga membantu pemerintah dalam menanggulangi masalah gizi yang masih menjadi persoalan utama di Indonesia.
[RS/ RVS]