Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk dan campak yang terjadi di Kabupaten Asmat, Papua, pada tahun lalu menunjukkan bahwa ada banyak hal yang harus dievaluasi kembali oleh pemerintah. Meskipun status KLB telah dicabut, nyatanya masih ada sejumlah anak gizi buruk yang dirawat. Dinas Kesehatan dibantu TNI diberitakan siap melakukan pendampingan dan pengawasan, terutama di puskesmas-puskesmas yang belum memiliki dokter.
Kondisi geografis Asmat dinilai sebagai salah satu pemicu utama KLB. Akses menuju Asmat memang tak mudah, dengan berbagai medan yang berliku, mulai dari jalan yang sangat sempit, perbukitan, hingga hamparan rawa-rawa. Tidak ada jalan raya sehingga pintu transportasi utama hanya kapal dan perahu.
Menteri Sosial Idrus Marham sempat mengatakan bahwa kondisi lingkungan di lokasi gizi buruk menjadi salah satu faktor sentral yang memengaruhi kesehatan masyarakat setempat. Ia juga menyebut pola makan dan pola hidup nomaden sebagai penyebab.
Merujuk pada Tempo, penduduk Asmat sebenarnya bisa memperoleh gizi dengan mengonsumsi sagu dan ikan, tapi mereka sudah sangat jarang mengail ikan dan mencari sagu. Tak semua warga memiliki perahu. Selain itu, masyarakat terbiasa mencuci ikan dengan air keruh dan berlumpur. Di sana, air hujan menjadi sumber air bersih satu-satunya untuk menunjang kehidupan.
Sementara itu, Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Elizabeth Jane Soepardi, mengungkapkan bahwa cakupan imunisasi di Kabupaten Asmat masih belum optimal. Bukan karena penduduknya anti terhadap vaksin, melainkan daerah yang sulit dijangkau. Tenaga kesehatan yang ada di sana juga minim.
Meskipun Presiden Jokowi telah mencanangkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) pada Februari 2017 lalu, tampaknya program ini belum sepenuhnya efektif di Asmat. Dalam Buku Panduan Germas, tertulis bahwa fokus untuk tahun 2016–2017 adalah agar masyarakat rutin beraktivitas fisik, mengonsumsi sayur dan buah, serta memeriksakan kesehatan secara berkala.
Ancaman gizi buruk yang tak selesai
Papua bukanlah satu-satunya provinsi di Indonesia yang dilanda gizi buruk. Masalah ini terjadi di berbagai wilayah Tanah Air. Kementerian Kesehatan dalam Buku Saku Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017 merilis jumlah kasus gizi buruk pada balita.
Hasil pengukuran status gizi PSG tahun 2017 pada balita 0–59 bulan berdasarkan indeks BB/U (berat badan menurut umur), mendapatkan persentase gizi buruk sebesar 3,8% dan gizi kurang sebesar 14%. Provinsi dengan gizi buruk dan gizi kurang tertinggi tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kasus gizi buruk terjadi setiap tahun di NTT. Dilaporkan banyak anak memiliki indikator berat badan tidak sesuai dengan tinggi badan. Hingga kini, masalah ini masih sulit untuk diakhiri.
“Masalah gizi secara langsung dipengaruhi oleh faktor konsumsi makanan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan dan konsumsi pangan beragam, sosial ekonomi, budaya, dan politik,” kata Ir. Doddy Izwardy, M.A., dari Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, dilansir Warta Kementerian Kesehatan.
Penyadaran masyarakat akan pentingnya pola makan bergizi seimbang, terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan, adalah salah satu kunci untuk mengatasi masalah gizi buruk. Kualitas gizi ibu maupun anak pada masa sebelum kehamilan, saat kehamilan, dan saat menyusui harus diselaraskan demi menjaga tumbuh kembang anak.
“Ini merupakan periode yang sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi,” ujar Doddy.
Intervensi percepatan perbaikan gizi juga tak hanya meliputi imunisasi, pemantauan pertumbuhan balita di posyandu, dan promosi ASI eksklusif, tetapi juga penguatan pembangunan di luar sektor gizi dan kesehatan. Pemerintah harus lebih meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang kini masih minim. Koordinasi lintas sektor juga mesti mendapat perhatian lebih agar masalah gizi buruk tak terus-menerus membayangi anak-anak Indonesia.
[RVS]