Ganja dianggap sebagai obat psikotropika karena mengandung tetrahidrokanabinol (THC). Diketahui bahwa zat tersebut dapat membuat pemakainya mengalami euforia dan efek-efek lain seperti relaksasi. Berdasarkan sejarah, penggunaan ganja dalam bentuk rokok bahkan sudah dikenal sebelum Masehi.
Menurut dr. Dyah Novita Anggraini dari KlikDokter, ganja dapat bertahan lama dalam tubuh. Hal ini berhubungan dengan sifatnya yang larut lemak dan dapat bertahan dalam lapisan lemak jaringan saraf.
“Semakin banyak dan semakin lama mengonsumsi ganja, maka semakin lama ganja akan menghilang dari tubuh. Semakin sedikit dan semakin sebentar mengonsumsi ganja, maka semakin cepat ganja menghilang dari tubuh,” ujarnya.
Penggunaan ganja masih terus menjadi perdebatan sampai saat ini. Meski begitu, selama bertahun-tahun, penelitian telah menunjukkan bahwa ganja dapat bermanfaat untuk mengobati kondisi medis tertentu, antara lain nyeri kronis, kecanduan alkohol, dan depresi. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat misalnya, telah melegalkan ganja untuk keperluan pengobatan.
Pemanfaatan ganja untuk kondisi medis tertentu
Dilansir WebMD, daftar negara bagian di AS yang melegalkan penggunaan medis terus bertambah. Sebanyak 33 negara bagian telah mengesahkan undang-undang penggunaan ganja secara medis. Termasuk 10 negara bagian yang melegalkan penggunaan ganja untuk kepentingan rekreasional dan medis.
Produk olahan ganja yang disebut CBD (cannabidiol), seperti krim, permen karet, pil, hingga kopi dan teh, telah dijual bebas secara online. Sebagian besar ahli medis di sana percaya bahwa konsumsi ganja aman jika kadar THC yang di dalamnya cenderung rendah atau tidak ada sama sekali.
Faktanya, berbagai macam produk tersebut sering dipasarkan sebagai obat anti peradangan dan penghilang rasa sakit. Beberapa juga ditujukan untuk anak-anak dengan epilepsi akut.
Tak hanya dijadikan bahan untuk makanan dan obat-obatan, ganja bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakaian hingga suku cadang mobil. Sebagian besar petani ganja memanfaatkan potensi tersebut pada berbagai macam aspek kehidupan.
Kendati begitu, penanaman ganja diregulasi secara ketat oleh pemerintah setiap negara bagian AS. Produksi tersebut diatur agar tidak disalahgunakan untuk tujuan rekreasi dan hal-hal lain yang tak semestinya.
Berdasarkan statistik, kurang lebih 15 juta penduduk Amerika Serikat mengonsumsi ganja dalam berbagai macam bentuk produk. Penelitian tersebut dipublikasikan pada bulan Juni 2008 dalam Archives of General Psychiatry, sehingga jumlahnya dipastikan terus bertambah,
Kontroversi ganja yang terus berlanjut
Legalisasi ganja di sejumlah negara bagian AS terus menjadi perbincangan di berbagai kalangan. Dikutip dari Canadian Broadcasting Corporation, sebagian besar orang dapat mengonsumsi ganja secara aman. Tapi untuk beberapa orang, ganja bisa saja memicu efek kesehatan, dan dokter mengatakan bahwa efek tersebut tidak mudah untuk diprediksi.
Disebutkan juga bahwa ada beberapa efek kesehatan yang potensial jika ganja dilegalisasi. Misalnya, merokok ganja bisa memperparah asma, meningkatkan sesak napas, dan meningkatkan risiko bronkitis.
Dyah setuju bahwa tanaman yang satu ini dapat memunculkan berbagai macam efek negatif yang mesti diwaspadai. “Hal-hal ini termasuk depresi, paranoid, cemas atau serangan panik. Penggunaan ganja dalam jangka panjang juga dihubungkan dengan mengecilnya daerah otak (hipokampus dan amigdala) yang berhubungan dengan psikosis serta penurunan kognitif,” kata dr. Vita.
Meskipun ganja dapat memberikan rasa senang bagi pemakainya, sejumlah kalangan medis masih terus mencari fakta di balik ini. Penggunaan ganja di dunia kesehatan hingga saat ini masih menjadi kontroversi, dengan berbagai pro dan kontra.
[RS/ RVS]