Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampel) BPJS Kesehatan No. 2, 3, dan 5 Tahun 2018 tentang pelayanan katarak, persalinan dan bayi baru lahir sehat, dan rehabilitasi medik menuai pro kontra. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai wadah dokter resmi di Indonesia mencoba memberikan sikapnya.
Sebagai informasi, BPJS Kesehatan merilis tiga aturan baru yang secara singkat intinya dari aturan baru itu adalah mereka tidak lagi menjamin penuh layanan medis katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Keputusan itu kini tengah ramai diperbincangkan masyarakat.
Pada beberapa hari yang lalu, Meteri Kesehatan Nila Moeloek sempat meminta agar aturan itu ditangguhkan. Lebih keras lagi, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) meminta agar BPJS Kesehatan mencabut keputusan itu karena dinilai merugikan masyarakat.
Secara rinci, perdirjampel BPJS Kesehatan No. 2, 3 dan 5 tahun 2018 berisi tentang:
- Bayi baru lahir dengan kondisi sehat post operasi caesar maupun per vaginam dengan atau tanpa penyulit dibayar dalam 1 paket persalinan.
- Penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan apabila visus kurang dari 6/18 dan jumlah operasi katarak dibatasi dengan kuota.
- Tindakan rehabilitasi medis dibatasi maksimal 2 kali per minggu (8 kali dalam 1 bulan)
Dalam kasus ini, dokter yang bersinggungan langsung dengan pasien akan terkena imbasnya. IDI sebagai wadah dokter resmi di Indonesia mengambil sikap terkait hal ini.
IDI menginginkan agar mutu layanan tidak dikurangi oleh BPJS Kesehatan. Melalui ketua umum Prof. Dr. I. Oetama Marsis, Sp.OG, IDI berharap peraturan baru itu tidak merugikan pasien dan juga dokter tetap bisa memberikan pelayanan optimal.
"Untuk pasien, semua kelahiran harus mendapatkan penanganan optimal karena bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat, dan bahkan kematian. Sementara untuk operasi katarak, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kebutaan tertinggi, jika peraturan itu jadi dijalankan, maka angka kebutaan semakin meningkat. Untuk rehabilitasi medik, jika dibatasi maksimal 2 kali seminggu, itu tidak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik yang nantinya hasil terapi tidak tercapai secara optimal dan kondisi disabilitas sulit teratasi," ujar Prof. Dr. I. Oetama Marsis.
"Bagi dokter, peraturan membuat dokter berpotensi melanggar sumpah, yaitu tidak melakukan praktek tidak sesuai standar. Lalu, kewenangan dokter dalam melakukan tindakan medis diintervensi oleh BPJS. Terakhir, ini bisa meningkatkan konflik antara dokter dengan pasien serta dokter dengan fasilitas pelayanan kesehatan," sambung Prof. Dr. Oetama.
Pernyataan sikap IDI
Untuk menindaklanjuti keputusan tersebut, IDI kemudian mengeluarkan sikap. Ada sembilan sikap yang diambil IDI. Kesemuanya merupakan masukan agar pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional berjalan dengan baik.
Berikut pernyataan sikap IDI:
- Berdasarkan hal di atas bahwa Perdirjampel nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 merugikan Masyarakat dalam mendapatkan mutu pelayanan kesehatan yang berkualitas.
- Sesuai perpres nomor 12 tahun 2013 pasal 22 dan pasal 25: semua jenis penyakit di atas harusnya dijamin oleh BPJS Kesehatan.
- Perdirjampel nomor 2,3 dan 5 berpotensi melanggar UU SJSN No. 40 tahun 2004 pasal 24 Pasal 24 Ayat (3). Dalam Melakukan Upaya Efisiensi, BPJS Kesehatan seyogyanya tidak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan keselamatan pasien. Selain itu BPJS Kesehatan dapat membuat aturan tentang iur/urun biaya.
- Perdirjampel nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 tidak mengacu pada Perpres 19 tahun 2016 tentang JKN khususnya pasal 43a ayat (1) yaitu BPJS Kesehatan mengembangkan teknis operasionalisasi sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
- Perdirjampel nomor 3 Tahun 2018 Bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 76 tahun 2016 tentang pedoman INACBG dalam pelaksanaan JKN.
- IDI meminta BPJS Kesehatan membatalkan Perdirjampel nomor 2,3 dan 5 tahun 2018 untuk direvisi sesuai dengan kewenangan BPJS Kesehatan yang hanya membahas teknis pembayaran dan tidak memasuki ranah medis.
- IDI meminta defisit BPJS tidak bisa dijadikan alasan untuk menurunkan kualitas pelayanan. Dokter harus mengedepankan pelayanan sesuai dengan standar profesi.
- IDI bersama-sama stakeholder lain, di antaranya PERSI mendorong Kemenkes untuk memperbaiki regulasi tentang penjaminan dan pengaturan skema pembiayaan untuk mengatasi defisit pembiayaan JKN.
- IDI mendorong terbitnya peraturan presiden tentang iur/urun biaya sesuai amanah UU nomor 40 tahun 2014 tentan SJSN
Keputusan yang baru dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan tentu saja menuai reaksi keras masyarakat. Menanggapi hal tersebut, IDI telah menerbitkan pernyataan sikap. Sudah seharusnya, kualitas pelayanan kesehatan untuk masyarakat tidak boleh dikorbankan.
[RVS]