“Jadi laki-laki, kok, lemah!” Sesekali kamu pasti mendengar ungkapan tersebut, dari siaran film yang ditonton, buku yang dibaca, bahkan orang terdekat pernah mengucapkannya secara langsung padamu.
Seruan yang terlihat biasa saja ini, ternyata bisa menjadi racun, loh! Dalam dunia kesehatan, ini merupakan salah satu contoh toxic masculinity. Memang, apa artinya toxic masculinity? Yuk, kenali lebih dalam penjelasannya berikut ini.
Apa Itu Toxic Masculinity?
Disampaikan oleh Iswan Saputro, M.Psi., Psikolog, toxic masculinity (maskulinitas toksik) adalah tekanan sosial bagi laki-laki untuk berperilaku sesuai konsep ideal dalam suatu struktur sosial. Maksudnya, mereka diharuskan bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang harus ada dalam diri seorang laki-laki.
Contohnya, seorang laki-laki harus menunjukkan sisi maskulin (kejantannya), kekuatannya, kekuasaannya, dan tidak boleh mengeluh.
Sebenarnya, konsep maskulinitas adalah karakteristik yang positif. Namun, akan menjadi “racun” ketika laki-laki dituntut harus memiliki dan menunjukkan maskulinitas demi menghindari stigma “laki-laki itu lemah”.
Psikolog Iswan menerangkan, “Padahal seorang laki-laki bisa saja memiliki sifat yang lembut, gentle, peka, ramah, dan perasa. Ini bukan suatu aib atau kekurangan ketika laki-laki memiliki sifat yang disebutkan tadi.”
Artikel Lainnya: 6 Ciri Pria Pasif Agresif yang Harus Diketahui
Tuntutan Toxic Masculinity pada Lelaki
Sikap toxic masculinity yang dituntut dari lingkungan atau secara tidak sengaja maupun sengaja diterapkan dengan sendirinya, membuat seorang laki-laki kerap menunjukkan sikap berikut ini:
- Tidak menunjukkan emosi sedih atau mengeluh karena tidak ingin terlihat lemah
- Menganggap lelaki boleh mengekspresikan keberanian, amarah, atau kekerasan sehingga sesuatu yang sifatnya agresif terkadang dinormalisasi
- Tidak merasa membutuhkan kehangatan dan kenyamanan
- Tidak menunjukkan afeksi (sikap lemah lembut)
- Tidak boleh menerima bantuan atau bergantung pada siapa pun
- Harus memiliki kekuasan dan status sosial yang tinggi agar dihormati orang lain
- Cenderung berperilaku kasar, agresif, dan mendominasi, khususnya pada perempuan, bahkan dalam melakukan hubungan seksual
- Kecenderungan memandang perempuan bisa dikendalikan statusnya, tidak lebih tinggi dari laki-laki (misogyny)
- Menganggap gaya hidup yang tidak sehat adalah sesuatu yang keren, seperti merokok, mengonsumsi minuman beralkohol, melakukan seks bebas, atau menyalahgunakan obat-obatan
Artikel Lainnya: Real Men Don’t Cry, Benarkah Demikian? Ini Jawaban Psikolog
Dampak Buruk Toxic Masculinity
Toxic masculinity dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental laki-laki.
“Laki-laki yang hidup dalam toxic masculinity hidup dalam ekspektasi orang lain terus. Inilah yang membuat laki-laki cenderung memendam perasaannya sendiri dan sulit terbuka dalam mengomunikasikan pikirannya”, papar psikolog Iswan.
Toksik maskulinitas sering kali menjadi hambatan pada laki-laki untuk mendapatkan pengobatan ketika dirinya memiliki penyakit mental. Anggapan lelaki tidak boleh lemah, membuat dirinya enggan meminta bantuan dokter maupun psikolog.
Ini menjadi salah satu alasan kenapa banyak lelaki yang baru mendapatkan penanganan ketika kondisinya sudah parah dan berujung dengan bunuh diri.
Artikel Lainnya: Gejala Depresi yang Dapat Dialami Pria
Cara Mengatasi Toxic Masculinity
Dalam mengatasi toxic masculinity, psikolog Iswan menyarankan kepada laki-laki untuk bisa membiasakan mengekspresikan diri dan menumbuhkan rasa empati.
“Laki-laki boleh bercerita, berkeluh kesah, meminta pendapat, bahkan menangis”, papar psikolog Iswan.
Sebagai gilirannya, kamu tidak boleh menganggap lelaki yang menunjukkan perasaannya tersebut sebagai kelemahan. Kemudian, kamu juga harus lebih terbuka dan berempati dengan kondisi mereka.
Selanjutnya, lelaki harus lebih menghargai perempuan. “Tidak membedakan atau merendahkan perempuan, serta memberikan kesempatan pada perempuan untuk berkembang”, jelas psikolog Iswan.
“Toxic masculinity bisa saja muncul dari tontonan atau media-media yang kita lihat. Jadi, jangan menerapkan konsep-konsep maskulinitas yang dianut orang barat dalam kehidupan kita, karena tentu tidak semuanya cocok. Jadi, harus pandai-pandai menyaringnya”, tambahnya.
Terakhir, laki-laki harus punya teman bicara yang positif dan meningkatkan edukasi mengenai kesehatan mental agar dirinya tidak malu untuk meminta bantuan psikolog jika mengalami masalah.
Artikel Lainnya: Gangguan Jiwa yang Sering Menyerang Pria
Jadi, menjadi lelaki bukan berarti harus terus-menerus kuat, ya. Ada kalanya, kamu juga butuh tempat untuk bersandar dan berkeluh kesah.
Ingin mendapatkan lebih banyak informasi seputar kesehatan mental? Segara download aplikasi KlikDokter dan dapatkan berbagai informasi untuk bantu #JagaSehatmu. Jangan lupa, manfaatkan fitur Tanya Dokter di aplikasi KlikDokter untuk konsultasi lebih mudah dan cepat!
(NM)
- E.H. Thompson, J.H. Pleck. The structure of male role norms. American Behavioral Scientist. 1986; 29: 531-543. doi: 10.1177/000276486029005003
- Springer KW, Mouzon DM. "Macho men" and preventive health care: implications for older men in different social classes. J Health Soc Behav. 2011;52(2):212-227. doi:10.1177/0022146510393972
- Verywell Mind. What Is Toxic Masculinity?. Diakses pada 2023