Badan Pengadilan Agama Mahkamah Agung melaporkan, sampai bulan Agustus lalu sudah ada 306.988 kasus perceraian orang tua di Indonesia
Dari banyaknya kasus tersebut, anaklah yang dianggap sebagai pihak yang dirugikan. Makin tinggi angkanya, makin banyak pula anak yang harus sedih dengan perpisahan ibu bapaknya.
Kalau proses perpisahannya lancar, mungkin dampak perceraian bagi anak-anak tak begitu memberatkan. Kalau sampai penuh drama, Tentu bikin mereka pusing.
Bagaimana bila respons atau reaksi anak korban perceraian justru tidak sedih alias biasa-biasa saja? Mereka menyerahkan semua keputusan kepada orang tua dan cenderung tak mau tahu tentang proses atau kelanjutannya.
Orang tua mungkin menganggap “Wah, anak saya dewasa”. Di sisi lain, hal itu terlihat aneh untuk anak seusianya yang seharusnya sangat ekspresif.
Lalu, bagaimana pendapat psikolog mengenai kondisi ini? Wajarkah anak tampak biasa-biasa saja dengan perceraian orang tua?
Penyebab Anak Tidak Sedih dengan Perceraian Orang Tua
Menurut Gracia Ivonika, M.Psi., Psikolog, beberapa penyebab anak tampak tidak sedih dengan perceraian orang tuanya yaitu:
-
Memahami dan Tak Mau Menambah Beban
Anak berusaha memahami dan mengalah terhadap keputusan pihak yang lebih dewasa.
“Anak mungkin berusaha sekali untuk tidak menambah beban orang tuanya. Sebenarnya diam-diam ada kesedihan mendalam atau ada pertanyaan-pertanyaan di benaknya,” jelas psikolog yang kerap dipanggil Ivon itu.
-
Lega Bisa Lepas dari Konflik
Untuk keluarga dengan tingkat konflik tinggi, misalnya melibatkan pertengkaran verbal maupun fisik, anak mungkin akan merasa lebih aman dan tenang dengan terlepas dari situasi tersebut.
Karena itulah, bukannya sedih, ia justru terlihat lega atau setidaknya biasa-biasa saja.
“Kendati begitu, pada kenyataannya perceraian tidak selalu membuat konflik antara kedua orang tua berakhir,” tambahnya.
Artikel Lainnya: Takut Menyakiti Hati, Bagaimana Cara Jelaskan Perceraian ke Anak?
-
Faktor Usia Anak Juga Mendukung
Usia biasanya menjadi tolok ukur seberapa mampu anak memahami konsep perceraian, konflik, dan sebagainya.
“Pada anak balita hingga usia sekolah, kedua orang tua sama-sama memiliki peran yang signifikan dan penting memenuhi kebutuhan emosional anak. Jadi, ketika perceraian terjadi, anak juga dituntut melakukan penyesuaian yang signifikan pula. Hal ini tidak mudah tentunya bagi anak,” jelasnya.
“Sedangkan, pada anak usia remaja, ia mungkin lebih dapat diarahkan untuk memahami situasi yang terjadi dan menyesuaikan diri akan perubahan hidup keluarganya. Namun, kebutuhan remaja untuk masih mendapatkan pendampingan dari orang tua juga perlu menjadi perhatian penting,” Psikolog Ivon menambahkan.
-
Tergantung Kepribadian Anak
Respons tiap anak terhadap perceraian orang tua pada dasarnya berbeda-beda. Misalnya, pada anak yang pengelolaan emosinya bagus, ia mampu mengelola perasaan-perasaan negatif. Jadi, hal tersebut tak sampai membuatnya terus-menerus larut dalam kesedihan.
Begitu pula dengan anak-anak yang tangguh dan fleksibel (resilience). Mereka bisa bangkit lebih cepat dari kondisi buruk akibat perpisahan ayah ibunya.
-
Lingkungan yang Suportif
Reaksi kita dalam menghadapi sesuatu juga dipengaruhi lingkungan sekitar, lho! Kalau lingkungannya suportif, dalam artian selalu ada orang yang dapat membantunya memahami dan menyesuaikan diri (bisa saudara, sahabat, guru, konselor, orang tua dari sahabat), anak korban perceraian cenderung kuat.
Artikel Lainnya: Mengenal Pola Asuh Co-Parenting untuk Pasangan Bercerai
Normalkah Bila Anak Biasa-biasa Saja terhadap Perceraian?
Karena ada lima faktor penyebab anak tidak sedih dengan perceraian orang tua, apakah kita langsung bisa menyimpulkan bahwa reaksi tersebut termasuk normal?
Tunggu dulu! Ternyata, normal atau tidaknya anak tidak sedih terhadap perpisahan ayah ibunya perlu dilihat lagi dari kondisi masing-masing anak.
“Kita tidak bisa serta-merta menyamaratakan. Tidak sedih pun tidak bisa mengartikan anak senang dengan keputusan tersebut. Bisa juga ia hanya menutupi atau mengalihkan perasaan sebenarnya, kan?” ucap Ivon.
Sesibuk apa pun orang tua dengan proses perceraiannya, tetap harus memahami sudut pandang anak. Cobalah sempatkan waktu untuk ngobrol santai tapi mendalam.
Orang tua tak boleh mendominasi kesempatan anak untuk berbicara. “Dengarkan dan diskusilah dengannya. Dengan begitu, Anda jadi tahu kebutuhan anak yang sebenarnya, terutama untuk jangka panjang,” sarannya.
Momen tersebut juga bisa menjadi penyaluran emosi-emosi negatif yang selama ini ia pendam. Pahami saja bila sebelumnya ia nampak santai, tetapi di momen ini justru emosional.
Ia sedang berusaha mengeluarkan sesuatu yang sudah disimpan dan tertumpuk di dalam hati.
Agar kondisi anak tetap baik seterusnya, orang tua tetap perlu bekerja sama dalam pengasuhan meski sudah berpisah.
“Ini faktor penting karena bisa menentukan perkembangan kondisi anak ke depan. Anak tetap butuh kehadiran, peran, pemenuhan kebutuhan emosional, dan pengarahan dari keduanya. Jadi, coba diatur sebaik mungkin. Bila perlu bantuan, jangan pernah ragu untuk datang ke profesional seperti psikolog,” tutup Ivon.
Perceraian orang tua memang memberikan dampak tersendiri untuk anak-anaknya. Sekali pun mereka terlihat baik-baik saja, kemungkinan besar tetap ada perasaan terluka yang mereka simpan sendiri agar tak menambah beban.
Bila ada pertanyaan seputar keluarga, pola asuh, dan tumbuh kembang anak, langsung konsultasikan kepada psikolog dan dokter lewat LiveChat dari Klikdokter.
(FR/AYU)