Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan segala bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang kepada pasangannya. KDRT juga meliputi kekerasan kepada anggota keluarga lainnya, seperti anak, orangtua, keponakan maupun cucu.
Berdasarkan Good Therapy, jenis kekerasan yang dilakukan dapat berupa kekerasan fisik, psikologis, dan seksual. KDRT juga meliputi tindakan manipulasi untuk menguasai, mengontrol, dan menyalahgunakan keuangan pasangan maupun anggota keluarga.
Tindakan KDRT dapat dilakukan oleh siapa pun. Kendati demikian, 90 persen pelakunya didominasi oleh pria dan mayoritas korbannya merupakan wanita, menilik data dari Valparaiso University di Amerika Serikat.
Umumnya, perilaku kekerasan tersebut juga dilakukan berulang kali, hingga menyebabkan trauma fisik dan mental bagi korbannya.
Lantas, apa yang mendorong seseorang melakukan KDRT? Mungkinkah pelaku KDRT bisa sembuh dari kebiasaan negatif tersebut? Simak penjelasan psikolog berikut.
Penyebab Munculnya Kebiasaan KDRT
Terdapat sejumlah faktor pemicu perilaku KDRT. Tindak kekerasan terhadap pasangan dan anggota keluarga sering kali muncul ketika seseorang merasa berkuasa atas korbannya.
Perasaan berkuasa tersebut timbul karena adanya status sosial, kekayaan, kekuatan fisik, kemampuan memanipulasi emosi, maupun bentuk kekuasaan lainnya.
Karena merasa lebih berkuasa, pelaku KDRT mengira dirinya berhak memperlakukan orang lain seperti yang mereka inginkan. Bahkan, banyak pelaku kekerasan tidak menyadari bahwa tindakan mereka keliru dan merugikan orang lain.
Artikel Lainnya: Apakah Sifat Pasangan Dapat Berubah Setelah Menikah?
Selain kekuasaan, tindakan KDRT juga dapat dipicu oleh adanya perasaan untuk melampiaskan stres akibat tekanan pekerjaan, ekonomi, maupun sosial.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat pula muncul karena pelakunya memiliki masalah kesehatan mental, kepribadian narsistik, antisosial, maupun kebiasaan menyalahgunakan alkohol dan narkotika.
Pelaku juga bisa melakukan KDRT karena pernah memperoleh kekerasan maupun pelecehan di masa lalu.
Menurut Amie Zarling, profesor dan psikolog klinis di Iowa State University, pada dasarnya kebiasaan KDRT tidak disebabkan oleh satu faktor saja. Perilaku negatif tersebut bisa muncul karena akumulasi atau gabungan dari banyak hal.
“Kekerasan tidak hanya digunakan untuk mempertahankan dominasi pelaku atas korbannya, kerap kali tindakan tersebut merupakan mekanisme untuk mengatasi tekanan ekstrem yang mereka rasakan,” jelasnya.
Pada pria, Zarling mencontohkan, kekerasan merupakan cara untuk mengatasi emosi yang tidak menyenangkan, seperti perasaan rapuh, malu, cemburu maupun cemas.
Lebih lanjut, Ellen Pence, dari Domestic Abuse Intervention Project (DAIP), sebuah program untuk mengurangi KDRT, mengungkapkan bahwa kekerasan yang didominasi pria muncul karena praktik menahun budaya patriarki.
Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan pemimpin utama dalam banyak hal.
Sistem yang melanggengkan dominasi laki-laki tersebut melahirkan banyak bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pria.
Artikel Lainnya: Cara Tepat Hadapi Suami Temperamental
Bisakah Pelaku KDRT Sembuh?
Konstruksi sosial dan politik dari sistem patriarki yang mendarah daging selama ribuan tahun, menurut Ellen Pence, membuat pria pelaku KDRT sulit menyembuhkan kebiasaan buruk mereka.
Bahkan, Pence mengatakan perilaku kekerasaan tersebut tidak dapat dihilangkan dengan metode psikoterapi maupun konseling.
“Sesi terapi dengan profesional rentan membuat pria pelaku KDRT melihat tindakan mereka hanya sebagai produk dari trauma masa lalu maupun masalah lain yang mereka alami,” katanya.
Padahal, ditegaskan Ellen Pence, banyak pria pelaku KDRT melakukan kekerasan secara sadar karena didorong pemahaman terkait haknya sebagai laki-laki yang selama ini diuntungkan oleh sistem patriarki. Hal ini terlepas dari latar belakang setiap pria.
Kebiasaan KDRT tersebut dapat pula dilakukan wanita yang memiliki kekuasaan, maupun sejumlah masalah yang mendorong mereka melampiaskan kekerasan kepada pasangan dan anggota keluarga.
Senada dengan Ellen, Ikhsan Bella Persada M.Psi., Psikolog, mengamini bahwa pelaku kekerasan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin menghilangkan kebiasaan KDRT yang mereka lakukan.
Hal ini karena tindak kekerasan, menurut Ikhsan, sudah bertransformasi menjadi perilaku dari kepribadian pelaku.
“Mereka punya agresivitas yang cukup kuat, sehingga ketika stres atau ada sesuatu yang tidak sesuai, maka agresivitasnya akan muncul dalam bentuk KDRT,” katanya.
Ikhsan menambahkan, kesulitan pelaku dalam mengontrol emosi juga bisa mendorong impulsivitas untuk melakukan KDRT terhadap pasangan.
“Terlebih, mereka yang melakukan KDRT mudah terbawa emosi. Sehingga, perilaku kekerasan yang muncul memang karena dorongan dari dalam dirinya,” papar Ikhsan.
Kendati peluang pelaku KDRT bisa berubah sangatlah kecil, Ikhsan mengatakan intensitas dan frekuensi kekerasan yang mereka lakukan dapat diturunkan dengan memberikan pelaku terapi.
Terapi dapat membantu mengelola emosi mereka, sehingga pelaku KDRT dapat menyalurkan emosi negatif ke hal yang positif.
Artikel Lainnya: Tipe Calon Suami yang Berbahaya untuk Kesehatan Mental
Ditambahkan Amie Zarling, salah satu terapi yang direkomendasikan untuk pelaku KDRT yaitu ACTV alias Achieving Change Through Values-Based Behavior.
ACTV merupakan kelas terapi yang melakukan pendekatan dengan membantu pelaku kekerasan menerima dan menyadari perasaan tidak menyenangkan yang menghinggapi mereka.
Namun di saat bersamaan, terapi juga membantu pelaku agar tidak membiarkan perasaan tersebut mengendalikan mereka.
Di dalam kelas ACTV, pelaku KDRT diajarkan soal patriarki dan kesadaran hidup sebagai makhluk sosial.
Pelaku KDRT bisa sembuh sangat kecil peluangnya. Meski begitu, mereka bisa diarahkan untuk mengikuti kelas terapi agar bisa mengelola tindakan negatif tersebut.
Jika Anda mengalami KDRT, jangan ragu untuk melaporkannya ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Kementerian Sosial RI, ataupun Komnas Perempuan.
Jika ingin tanya lebih lanjut seputar masalah kesehatan mental, konsultasi ke psikolog via Live Chat.
(OVI/AYU)
Referensi:
- Wawancara Ikhsan Bella Persada, M.Psi., Psikolog.
- Good Therapy. Diakses 2022. Abuse / Survivors of Abuse.
- The Atlantic. Diakses 2022. CAN YOU CURE A DOMESTIC ABUSER?
- Mayo Clinic. Diakses 2022. Domestic violence against women: Recognize patterns, seek help.