Penyanyi dangdut, Lesti Kejora resmi mencabut laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya, Rizky Billar. Ia mengaku keputusan tersebut diambil demi anak semata wayangnya.
Seperti halnya Lesti, beberapa korban KDRT cenderung memaafkan pelaku, bahkan menjalin hubungan kembali dengan berbagai alasan. Lalu, apa saja penyebab korban memaafkan pelaku KDRT?
1. Berada di Siklus Kekerasan
Berada di dalam cycle of abuse alias siklus kekerasan bisa menjadi penyebab korban KDRT memaafkan tindakan pelaku. Siklus kekerasan sendiri ada beberapa tahap.
Tahap pertama dimulai dari building tension, yaitu kondisi ketika ketegangan mulai muncul di antara kedua pasangan. Kemudian konflik berkembang menjadi incident of abuse saat tindak kekerasan mulai terjadi.
Terakhir, siklus kekerasan bisa memasuki tahap calm (honeymoon stage). Dijelaskan Ikhsan Bella Persada, M.Psi., Psikolog, pada fase honeymoon stage, pelaku memanipulasi korban dengan meminta maaf, menunjukkan perhatian lebih, ataupun membelikan barang kesukaan korban.
Bahkan, pelaku berjanji tidak akan mengulangi tindakannya kembali. Korban yang teperdaya, percaya dengan “janji manis” pelaku.
Menyaksikan pelaku kekerasan seakan menyesali perbuatannya, korban lantas memberikan kesempatan kedua.
“Kondisi ini menghasilkan hormon oksitosin dan dopamin di otak korban sehingga dia merasa disayang dan memiliki bonding dengan pelaku,” jelas Ikhsan.
Ketika hal ini terjadi, korban sangat mungkin memaafkan dan kembali menjalin hubungan dengan pelaku. Nantinya, KDRT tetap terjadi dan siklus kekerasan berulang kembali.
2. Merasa Takut
Perasaan takut bisa membuat korban cenderung memaafkan suami yang KDRT dan memilih menjalin hubungan kembali. Hal ini disampaikan oleh Jason Whiting Ph.D, seorang profesor dari Brigham Young University, Amerika Serikat yang mempelajari pola kekerasan dalam sebuah hubungan.
Ketakutan tersebut muncul akibat ancaman fisik dan emosional yang dilontarkan pelaku. Pelaku KDRT biasanya mengancam akan memburu korban dan menyakiti semua orang yang dia cintai, termasuk anak-anak mereka.
Cara ini digunakan pelaku untuk memanipulasi, menjebak, dan mengontrol korban. Profesor Jason mengatakan bahwa perempuan korban kekerasan lebih banyak menerima ancaman ketimbang pria.
Artikel Lainnya: Kenali Bentuk dan Tanda Kekerasan Rumah Tangga
3. Anak-anak
Tak jarang, korban KDRT “rela” menjadi tameng dan mengorbankan keselamatan diri sendiri demi melindungi anak-anaknya. Korban merasa takut apabila pelaku tidak memukulnya, tindak kekerasan akan dilampiaskan pada sang anak.
Pelaku juga memanfaatkan hal ini untuk memperdaya korban agar mau kembali rujuk dengannya.
Beberapa korban KDRT juga beranggapan bahwa anak-anaknya masih butuh figur seorang ayah sehingga mau menjalin hubungan kembali dengan pelaku KDRT.
4. Menyalahkan Diri Sendiri
Perasaan bingung, ragu-ragu, dan cenderung menyalahkan diri sendiri bisa menggelayuti korban KDRT akibat trauma dikendalikan dan disakiti pelaku.
Pelaku memanipulasi korban dengan menuduhnya sebagai penyebab rasa lelah dan putus asa yang mereka rasakan. Akibatnya, korban percaya bahwa ia pantas menerima KDRT. Dia merasa bahwa perilakunya memicu pelaku melakukan tindakan tersebut sehingga korban cenderung memaafkan KDRT yang dilakukan pasangannya.
5. Tingkat Percaya Diri yang Rendah
Banyak korban KDRT yang mengaku harga dirinya hancur. Hal ini disebabkan pelaku membuat korban percaya bahwa mereka tidak berharga, sendirian, patut disalahkan, dan pantas menerima kekerasan dalam rumah tangga.
Kondisi ini membuat korban KDRT memiliki rasa percaya diri yang sangat rendah. Secara tidak sadar, mereka menjadi ketergantungan terhadap pelaku.
Artikel Lainnya: Alami Kekerasan dalam Pacaran, Mengapa Masih Ada yang Bertahan?
6. Berpikir dapat Mengubah Perilaku Pelaku
Beberapa korban menganggap bahwa ia tetap bisa mencintai pasangannya kendati menerima KDRT. Dengan tetap bersama, dia berharap bisa mengubah kebiasaan buruk pelaku.
Nyatanya, psikolog Ikhsan mengatakan bahwa perilaku KDRT sulit atau bahkan tidak bisa dihilangkan sama sekali. Besar kemungkinan, pelaku tetap mengulangi tindakan tersebut di kemudian hari.
7. Masalah Keuangan
Terkadang, kasus KDRT berujung “damai” bisa disebabkan ketergantungan korban pada pelaku secara finansial. Alhasil, korban memaafkan pelaku dan mau menjalin hubungan kembali dengannya.
Ada banyak korban KDRT yang berpikir sulit menghidupi diri sendiri dan anak-anak apabila dia meninggalkan pelaku.
8. Tidak Punya Support System Lain
Minimnya support system bisa menjadi alasan korban kekerasan cenderung memaafkan pelaku KDRT. Profesor Jason Whiting mengatakan bahwa pasangan manipulatif akan memisahkan korban dari keluarga dan teman-temannya, baik secara fisik maupun emosional.
Ketika KDRT terjadi, korban merasa tidak ada yang bisa menolongnya selain pelaku.
“Ini adalah taktik umum yang digunakan pasangan manipulatif untuk membuat korban ketergantungan kepada mereka,” jelas Jason.
9. Keyakinan atau Budaya
Berpegang teguh pada keyakinan atau tuntunan agama yang tidak mendukung perceraian bisa mendorong korban KDRT memaafkan pelaku. Karenanya, ia memutuskan untuk tetap berada di dalam situasi tersebut, meski mendapatkan tindak kekerasan.
10. Pola Asuh
Pola pengasuhan yang diterima sewaktu kecil dapat menyebabkan korban KDRT salah kaprah menilai tindak kekerasan yang dia terima sebagai bentuk kasih sayang.
“Ketika dewasa, korban salah memahami arti dari tindak kekerasan yang dia terima. Hal ini akibat terbiasa menerima kekerasan fisik dari orang tua yang berdalih melakukan tindakan tersebut sebagai bentuk rasa sayang,” ungkap Psikolog Ikhsan.
Ketika mendapatkan pasangan yang sering melakukan KDRT, korban menganggap ini adalah tanda sayang.
Artikel Lainnya: Cara Menghilangkan Trauma Kekerasan dalam Rumah Tangga
Itu dia sejumlah penyebab yang bisa membuat korban cenderung memaafkan pelaku KDRT.
Apabila kamu atau orang terdekat mengalami tindak kekerasan, segera laporkan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan Anak RI melalui layanan SAPA 129 dengan telepon ke 129. Kamu juga bisa menghubungi layanan WhatsApp di nomor 08111-129-129, ya!
Jika kamu sulit lepas dari hubungan yang toksik, #JagaSehatmu secara mental dan fisik dengan meminta bantuan profesional, seperti psikolog. Biar lebih praktis, gunakan layanan Tanya Dokter di aplikasi KlikDokter untuk konsultasi online dengan psikolog.
(ADT/JKT)