Beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak orang yang menghindari konsumsi gluten dalam menu makanannya sehari-hari. Gluten sendiri merupakan sejenis protein yang biasa ditemukan pada produk makanan yang berasal dari tanaman serelia atau biji-bijian, misalnya gandum, gandum hitam, dan jelai.
Mulanya, diet bebas gluten ditujukan untuk orang-orang dengan penyakit celiac. Orang dengan penyakit tersebut tidak bisa mengonsumsi gluten karena reaksi autoimun di dalam tubuhnya. Ketika gluten dikonsumsi, sistem kekebalan mereka akan menganggap gluten sebagai zat asing yang harus dihancurkan karena mengancam tubuh.
Reaksi autoimun pada penyakit celiac juga ikut merusak permukaan saluran usus, sehingga fungsi penyerapan nutrisi makanan di usus menjadi terganggu. Gangguan pada saluran pencernaan tersebut akhirnya dapat menyebabkan kekurangan nutrisi, berbagai masalah pencernaan, hingga meningkatkan risiko penyakit lainnya.
Gejala penyakit celiac dapat bervariasi pada setiap orang. Tapi umumnya gejala yang muncul adalah diare atau sembelit, sakit kepala, dan penurunan berat badan. Selain itu, kembung, nyeri perut, mual, dan muntah juga dapat dialami. Dengan menghindari konsumsi gluten, maka kondisi kesehatan penderita celiac akan membaik.
Saat ini, banyak orang menerapkan diet bebas gluten padahal tidak memiliki celiac. Timbul anggapan bahwa diet bebas gluten dapat menurunkan berat badan dan menambah energi. Namun, menurut pakar penyakit celiac di Harvard Medical School, belum jelas apakah diet bebas gluten memang bisa meningkatkan kualitas kesehatan seseorang, terutama saluran pencernaan.
Pada sisi lain, belum banyak penjelasan medis yang dapat memastikan manfaat diet bebas gluten bagi kesehatan dan risiko diet bebas gluten. Pelaku diet bebas gluten memiliki kemungkinan kekurangan beberapa nutrisi, di antaranya serat, zat besi, kalsium, asam folat, riboflavin, niasin, dan tiamin. Pada akhirnya, kondisi tersebut bisa saja menyebabkan malnutrisi.
Tes DNA untuk Celiac
Tidaklah mudah untuk mendiagnosis seseorang dengan celiac. Peneliti menyebutkan bahwa hanya sekitar 20% dari penderita celiac yang terdiagnosis. Prinsipnya, diagnosis celiac membutuhkan pemeriksaan penunjang yang terdiri atas pemeriksaan laboratorium darah dan biopsi usus.
Pemeriksaan laboratorium darah terdiri atas tes serologi dan tes genetik. Tes serologi dapat menilai apakah ada peningkatan kadar antibodi terhadap gluten di dalam tubuh. Selain itu, tes genetik dilakukan untuk melihat adakah antigen HLA-DQ2 dan HLA-DQ8 di dalam tubuh. Kedua antigen tersebut merupakan kompleks gen yang spesifik, biasa ditemukan pada tubuh penderita celiac.
Antigen sendiri merupakan zat yang dapat merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi sebagai bentuk perlawanan terhadap antigen. Mekanisme tersebut merupakan bentuk proteksi bagi tubuh.
Jika dalam hasil pemeriksaan laboratorium darah mengarah pada penyakit celiac, dokter akan melakukan biopsi atau pengambilan sedikit jaringan dari usus kecil. Biopsi dilakukan untuk menganalisis kerusakan permukaan usus pada penderita penyakit celiac.
Perlu diketahui juga bahwa setiap orang memiliki dua salinan dari setiap serotipe HLA-DQ, yang masing-masing diperoleh dari ayah dan ibu. Jika seseorang diturunkan serotipe HLA-DQ yang sama seperti kedua orang tuanya, berarti disebut dengan homozigot. Bila seseorang diturunkan 2 serotipe HLA-DQ yang berbeda, itu disebut dengan heterozigot.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa seseorang dengan HLA-DQ8 homozigot akan memiliki risiko 10 kali lebih besar mengalami celiac. Dengan demikian, tes genetik pada proses diagnosis penyakit celiac perlu dilakukan. Meskipun demikian, terdapat variasi faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi keparahan penyakit celiac pada setiap orang.
Intoleransi Gluten Berbeda dengan Celiac
Di samping penyakit celiac, terdapat masalah kesehatan lain yang berhubungan dengan gluten, yaitu intoleransi gluten. Pada intoleransi gluten, seseorang mengalami keluhan setelah konsumsi gluten tetapi tidak terdiagnosis sebagai celiac.
Beberapa gejala dari intoleransi gluten pun serupa dengan penyakit celiac, tetapi biasanya tidak parah. Gejala yang dapat timbul pada intoleransi gluten, di antaranya diare atau konstipasi, perut kembung, nyeri perut, kelelahan, mual, sakit kepala, hingga nyeri otot dan sendi.
Berbeda dengan penyakit celiac, belum jelas mekanisme yang menyebabkan terjadinya intoleransi gluten. Pasalnya, intoleransi gluten tidak melibatkan mekanisme sistem kekebalan tubuh dan kerusakan saluran pencernaan.
Untuk mendiagnosis intoleransi gluten, seseorang harus melakukan pemeriksaan yang sama dengan proses diagnosis celiac. Menyingkirkan kemungkinan penyakit celiac akan sangat membantu dalam diagnosis intoleransi gluten.
Untuk menyatakan seseorang mengalami intoleransi gluten, biasanya dokter akan menyarankan modifikasi diet. Penderita diminta untuk mengurangi atau menghindari asupan gluten dalam menu makanannya sehari-hari. Lalu dilihat apakah ada perubahan dari keluhan yang dialami. Jika ada perbaikan, berarti dapat dikatakan orang tersebut mengalami intoleransi gluten.
Tentu, seseorang dengan intoleransi gluten perlu menghindari asupan makanan atau minuman yang mengandung gluten. Misalnya: gandum, gandum hitam, jelai, pasta, roti, mi, dan masih banyak lagi.
Jika penderita celiac harus langsung menyingkirkan gluten dari menu hariannya, penderita intoleransi gluten harus mengurangi konsumsi gluten secara bertahap. Hal ini karena gejala setiap orang dapat berbeda-beda.
Dengan demikian, tidak semua orang harus menghindari konsumsi gluten. Pada orang dengan masalah kesehatan tertentu seperti penyakit celiac atau intoleransi gluten, menghindari gluten dalam menu dietnya merupakan hal yang relevan. Sebaliknya, bagi orang yang tidak memiliki masalah kesehatan terkait gluten, alangkah baiknya untuk menghindari diet bebas gluten.
[RS/ RH]