Lebih dari 50 persen makanan yang beredar di swalayan dan restoran merupakan makanan ultra-proses. Meski begitu, masih banyak orang yang tak menyadarinya serta tak mengetahui dampaknya bagi kesehatan.
Agar makanan yang Anda konsumsi sehari-hari berkontribusi baik bagi kesehatan, Anda perlu mengetahui apa yang dimaksud makanan yang tidak diproses dan makanan ultra-proses. Dengan mengenali keduanya, Anda bisa menetapkan mana pilihan asupan makanan yang sehat untuk keluarga.
Kenali perbedaannya
Makanan yang tidak diproses (unprocessed foods) merupakan makanan yang dimakan dalam bentuk aslinya, tanpa melalui proses pengolahan tertentu. Misalnya saja sayuran, buah-buahan, telur, dan susu.
Sementara itu, makanan yang diproses atau biasa disebut processed foods merupakan makanan yang mengalami proses pengolahan, sehingga bentuknya berbeda dengan bentuk awalnya.
Umumnya, makanan yang diproses diberi minyak, garam, atau gula, dan melewati proses pemanasan, pasteurisasi, pengeringan, atau pengawetan. Contoh makanan yang diproses adalah keripik kentang, jus dalam kemasan, kentang yang dibekukan, dan sebagainya.
Bisa dibilang, makanan ultra-proses (ultra-processed foods) merupakan bagian dari makanan yang diproses. Yang membedakannya adalah produsen makanan menambahkan perisa, gula, lemak, atau pengawet makanan berbahan kimia pada makanan ultra-proses. Contoh makanan ultra-proses adalah es krim, sereal berperisa coklat, nugget dalam kemasan, sosis dan sebagainya.
Dampak konsumsi makanan ultra-proses
Makanan ultra-proses memang cenderung tidak sehat jika dibandingkan mengonsumsi makanan segar. Berbagai studi telah membuktikan hal ini, salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat.
Pada studi tersebut, subjeknya diberikan waktu dua minggu untuk mengonsumsi makanan segar, dan dua minggu lainnya untuk mengonsumsi makanan ultra-proses. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa subjek penelitian mendapatkan 508 kalori lebih tinggi saat dirinya mengonsumsi makanan ultra-proses.
Selain itu, setelah dua minggu konsumsi makanan ultra-proses, subjek penelitian mengalami peningkatan berat badan rata-rata 0,9 kilogram.
Hal tersebut terjadi karena makanan ultra-proses cenderung mengandung karbohidrat, lemak lebih tinggi, dan protein yang lebih rendah. Lebih lanjut, kandungan serat dalam makanan ultra-proses pun terbilang rendah.
Hal ini menyebabkan orang yang mengonsumsi makanan ultra-proses lebih mudah lapar dan makan dalam jumlah yang lebih banyak.
Tips untuk membatasi konsumsi makanan ultra-proses
Untuk dapat membatasi makanan ultra-proses yang dikonsumsi, berikut ini beberapa tips yang bisa Anda terapkan:
Lebih banyak mengonsumsi masakan rumah
Jika Anda memasak sendiri dan mengonsumsinya, lebih mudah bagi Anda untuk mengontrol kandungan makanan yang akan dikonsumsi. Anda bisa memutuskan untuk memasak dengan bahan-bahan yang segar dan menghindari makanan yang ultra-proses. Hindari menggunakan makanan beku atau makanan dalam kemasan saat memasak.
Lebih sering makan bersama dengan keluarga dan sahabat
Selain dapat melepas stres dan terasa lebih menyenangkan, makan bersama orang terdekat ternyata terbukti dapat menciptakan kebiasaan makan yang lebih sehat.
Sebuah studi di Amerika Serikat membuktikan bahwa saat makan bersama orang terdekat, seseorang cenderung akan memilih menu makanan yang lebih menyehatkan dan mengkonsumsi minuman manis lebih sedikit.
Jika harus makan di luar rumah, selektiflah dalam memilih makanan
Jika harus makan di luar rumah, pertimbangkan apa yang akan Anda makan dengan baik. Jangan hanya memilih makanan yang terasa lezat, tetapi pikirkan juga mengenai bahan-bahan yang diperlukan serta kandungan gizinya.
Alih-alih memilih restoran yang menyediakan cepat saji, usahakan untuk memilih tempat makan yang baru memasak makanannya saat pemesanan dilakukan.
Jadi mulai sekarang, demi kesehatan yang lebih baik, sebisa mungkin sebaiknya hindari konsumsi makanan ultra-proses. Lebih baik, pilihlah makanan dari bahan alami yang segar untuk dikonsumsi.
[NP/ RVS]