Tiap hari bertugas di ruang IGD, dr. Ari (bukan nama sebenarnya) harus ambil keputusan sulit. Ia mesti menentukan, mana pasien yang dipasangkan alat bantu napas, mana yang tidak.
Padahal, banyak pasien yang sudah kekurangan oksigen. Virus corona bersarang di dada mereka, bikin paru-paru tak berfungsi dengan baik.
Berbicara kepada Klikdokter, Ari yang bertugas di salah satu rumah sakit rujukan COVID-19 di Jakarta Pusat mengatakan, kondisi ini hanya ditemuinya di masa pandemi corona. Dulu, ia royal betul bila menghadapi pasien sesak, tidak pakai pikir panjang, sedikit-sedikit dipasangi alat bantu napas.
“Dulu saya agresif. Sedikit-sedikit pasiennya kurang kadar oksigennya, sudah saya pakaikan oksigen sungkup. Masih kurang, langsung intubasi. Kalau sekarang harus benar-benar mempertimbangkan karena nggak cuma satu atau dua pasien,” kata Ari.
Fasilitas di ruang ICU dan IGD tempat ia bertugas memang memadai, tapi kewalahan juga kalau kebanjiran pasien. Apalagi banyak pasien COVID-19 yang datang dengan kondisi perburukan yang cepat.
Sementara, alat bantu napas jumlahnya kurang. Di saat inilah, Ari mesti ambil keputusan berat.
“Jadi harus benar-benar memastikan dulu mana yang perburukannya lebih cepat, baru tindak lanjut (dipasangi oksigen),” kata dokter berusia 30 tahunan ini.
Tak jarang ventilator harus dioper-oper antara ruang ICU dan IGD, bergantian digunakan antar pasien. Ari yang bertugas di IGD terpaksa harus berlarian ke ICU untuk memastikan ketersediaan ventilator.
Suatu kali, ia ingin memindahkan ventilator di ICU untuk pasien dalam kondisi buruk di IGD. Hanya sejenak berselang ketika ia sibuk memasang intubasi pada pasien, ventilator ICU ternyata telah digunakan oleh pasien COVID-19 yang lain. Ari terlambat.
“Ventilator itu akhirnya sudah nggak mungkin dipindahkan lagi. Alhamdulillah, bisa tertangani juga [pasien IGD],” ujar Ari.
Pengalaman yang sama dialami dr. Linda (bukan nama sebenarnya) yang bertugas di ICU RS rujukan COVID-19 di Jakarta Selatan. Di ruang perawatan intensif itu, para tenaga medis harus menghadapi banyaknya pasien terpapar virus corona dengan kondisi perburukan yang cepat.
Linda bercerita kepada Klikdokter, pasien COVID-19 pertamanya masih muda berusia 30-an tanpa penyakit bawaan. Kondisinya saat masuk rumah sakit baik-baik saja, membuat Linda optimistis pasien itu akan sembuh dan pulang dengan selamat.
Tapi apa daya, kondisinya memburuk seketika, pasien itu koma. Linda “jungkir balik” memasangkan ventilator dan tindakan lainnya, tapi pasien seakan masih haus akan oksigen. Pada akhirnya, pasien itu meninggal dunia.
“Saya tidak akan bisa lupa. Sampai ketika saya harus menyatakan ia meninggal, saya tidak sampai hati. Ia masih muda, saya pikir ia akan pulang dengan kondisi sehat,” ujar Linda.
Sejak pandemi mendera, jam kerja seakan tak pernah berhenti bagi dokter seperti Ari dan Linda. Mereka harus bertahan di ruang ICU atau IGD dengan pakaian hazmat lengkap dengan masker.
Keringat membanjir di balik alat pelindung diri tersebut. Sementara, pasien tak berkesudahan, terus berdatangan bak air bah, sulit terbendung.
“Semakin membeludak di sini. Jadi, pasien bisa tertahan di IGD selama berhari-hari. ICU juga sama saja,” kata Ari.
Artikel Lainnya: Kisah dr. Sophia Hadapi Corona: Kok, Saya Tak Sembuh-Sembuh?
Penuhnya faskes inilah yang kemudian menyulitkan pasien dirujuk ke rumah sakit atau ruang isolasi.
Berbagai cerita bertaburan di media sosial soal masyarakat yang kesulitan mencari rumah sakit. Jika sudah demikian, maka tenaga kesehatan juga tak bisa berbuat banyak.
Hal ini pernah dialami para staf medis di Puskesmas Pagedangan, Tangerang, Banten. Kepala puskesmas tersebut, dr. Riris Tarihoran, mengatakan mereka pernah kelimpungan pada dini hari demi mencari rumah sakit rujukan bagi pasien COVID-19. Saat ini, ada 31 RS rujukan COVID di Tangerang.
“Saat itu jam 03.00 pagi, kami keliling-keliling rumah sakit untuk merujuk ibu tersebut yang reaktif. Semua rumah sakit tidak menerima karena penuh pasien COVID,” kata Riris dalam perbincangan dengan Klikdokter.
“Tapi akhirnya setelah koordinasi dengan dinas, ada satu rumah sakit yang ada bed-nya dan ia mau terima,” lanjutnya.
Ancaman Faskes Kolaps
Keterbatasan alat medis dan minimnya ketersediaan tempat tidur memang menjadi momok di tengah pandemi. Faskes di beberapa negara telah kolaps karena tak mampu menampung pasien.
Di berbagai wilayah Indonesia, rumah sakit berada di ujung tanduk. Tempat tidur untuk perawatan semakin terbatas, tenaga medis juga menyusut jumlahnya, sementara pasien masih terus bertambah.
Menurut data yang disusun Pandemic Talks (akun Instagram pengompilasi data resmi COVID-19), tingkat ketersediaan tempat tidur rumah sakit atau bed occupancy rate (BOR) Indonesia sudah di ambang batas aman WHO.
Data awal September menunjukkan, BOR Indonesia mencapai 49,8 persen, mendekati batas WHO 60 persen.
Ada 11 provinsi di Indonesia yang BOR-nya di atas rata-rata nasional, 5 di antaranya melampaui ambang batas WHO yakni Papua (107,6 persen), DKI Jakarta (85,5 persen), Bali (66,3 persen), Sumatera Barat (65,8 persen), dan Sulawesi Tenggara (60,3 persen). Papua bahkan berdasarkan data tersebut defisit 33 tempat tidur.
Saat berita ini ditulis (21/9), total ada 244.676 kasus terkonfirmasi COVID-19 dengan kasus aktif berjumlah 57.796 di Indonesia. Sementara, angka kematian mencapai 9.553 orang.
Data Kemenkes per 10 September yang dilansir dari Pandemic Talks menunjukkan positivity rate corona di Indonesia adalah 19,6 persen, jauh dari standar WHO 5 persen.
Jika tidak dilakukan langkah cepat dan tepat, maka rumah sakit di Indonesia terancam tidak bisa lagi menampung pasien COVID-19 alias kolaps.
Artikel Lainnya: Resah Gelisah Para Penyintas, Corona Itu Nyata
Rem Darurat Anies
Menghadapi kenyataan ini, pemerintah Provinsi DKI Jakarta akhirnya memutuskan menarik rem darurat. Gubernur Anies Baswedan menetapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB pada 14 September.
Jakarta, kata Anies, akan menambah jumlah tempat tidur isolasi menjadi 4.807 dari yang sebelumnya 4.053. Sedangkan untuk ICU, DKI akan menambah 20 persen kapasitasnya menjadi 636 bed dari sebelumnya 528 bed.
DKI Jakarta telah menetapkan 13 RSUD sebagai faskes khusus 100 persen menangani pasien corona.
Selain itu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah menyiapkan hotel-hotel di berbagai wilayah sebagai tempat isolasi mandiri penderita corona tanpa gejala. Di Jakarta sendiri, ada sekitar 27 hotel dengan total 3.700 kamar yang telah disiapkan.
Jika langkah penambahan kapasitas ini tidak dilakukan, maka Anies mengungkap fakta getir: habisnya kapasitas rumah sakit.
Data Anies menunjukkan, rumah sakit di ibu kota akan kehabisan kapasitas isolasi pada 17 September dan ruang ICU pada 15 September.
President Elect Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Periode 2021-2024 Moh. Adib Khumaidi menyebutkan akan terjadi functional collapse bila faskes sudah tidak lagi berdaya menghadapi banjirnya pasien.
Kolaps ini terjadi ketika fasilitas rumah sakit tak lagi mencukupi, termasuk sumber daya manusia di dalamnya. Adib menyadur penyelidikan Fakultas Kedokteran UI yang menyebut 83 persen tenaga kesehatan sudah burnout alias kelelahan menghadapi pandemi ini.
"Ini potensi risiko yang juga terjadi pada SDM kesehatan dan medis yang harus kita antisipasi," kata Adib kepada Klikdokter.
"Jadi, bisa dikatakan sudah ada functional collapse di beberapa wilayah, terutama DKI, Bali, dan wilayah lain. Hal ini perlu antisipasi untuk membuat strategi penanganan COVID yang lebih baik," lanjutnya.
Hal serupa disampaikan Prof. dr. Tjandra Y. Aditama, direktur regional Asia Tenggara untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tjandra mengatakan, faskes tidak akan kuat bila jumlah yang dilayani lebih besar ketimbang kemampuannya melayani.
"Contohnya waktu pandemi ebola di Afrika. Faskes di sana tidak kuat, jadi begitu ditimpa ebola jadi kolaps," kata Tjandra.
Faskes di beberapa negara telah dinyatakan di ambang kolaps, sebut saja India atau El Salvador.
Di negara-negara tersebut, RS menolak pasien karena kapasitasnya sudah penuh, sementara angka penderita corona terus menggelembung tak terkendali.
Tidak hanya menyulitkan upaya memerangi pandemi, penuhnya rumah sakit juga berdampak buruk bagi pelayanan pasien umum lainnya.
Misalnya gara-gara RS penuh, imunisasi atau vaksinasi anak tidak bisa dilakukan. Hal ini malah akan menimbulkan masalah dan penyebaran penyakit.
"Kalau imunisasi tidak jalan, sakitnya nggak sekarang, tapi nanti. Anak akan dapat penyakit akibat tidak diimunisasi dan bisa sangat besar masalahnya," kata Tjandra.
Skenario buruk lainnya, gara-gara faskes penuh, kontrol rutin pasien dengan penyakit menahun atau berat jadi terganggu. Seperti untuk pasien diabetes atau kanker yang butuh perawatan berkala.
"Salah satu anjuran WHO selain memberi prioritas COVID, tolong essential health services ini bisa dijaga dengan baik," tegas Tjandra.
Artikel Lainnya: Ujian Bertubi-tubi Dr Sandi, Tiga Generasi Terkena Virus Corona
Kematian Dokter
Sudah fasilitas kesehatan tidak mencukupi, jumlah dokter dan perawat juga berkurang karena meninggal akibat tertular COVID-19. Data Kemenkes 10 September menunjukkan ada 183 dokter dan perawat yang meninggal karena corona.
Data yang dikompilasi Pandemic Talks menunjukkan Indonesia masuk ranking 10 negara dengan kematian nakes tertinggi akibat pandemi.
Menurut dr. Muhammad Kamil, founder Pandemic Talks, kematian dokter yang tinggi dan ranjang rumah sakit yang penuh adalah dua indikasi kolapsnya faskes.
"Di saat pandemi sudah berjalan enam bulan lebih, ekspektasi dan estimasi dari para scientists menunjukkan kebenaran tentang kolapsnya sistem kesehatan," kata Kamil.
Kamil melanjutkan, kematian dokter akibat pandemi semakin memperburuk jumlah nakes yang memang jumlahnya kurang di Indonesia.
Data 2019 yang ia ungkapkan, menunjukkan ada 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, untuk sekitar 10.000 orang di negara ini, hanya ada 4 dokter, dan itu pun tidak merata setiap daerahnya.
"Itu jauh banget dari angka ideal suatu negara. Padahal dari WHO merekomendasikan ada 1 dokter per 1.000 penduduk," ujar Kamil yang tengah menempuh pendidikan di Jepang kepada KlikDokter.
Contohnya Papua, lanjut Kamil, hanya ada satu dokter spesialis paru di wilayah itu. Padahal, di masa pandemi corona saat ini, spesialisasi itu salah satu yang paling dibutuhkan. Upaya menambah jumlah dokter di Indonesia juga bukan perkara mudah dan butuh waktu lama.
"Sistem kesehatan itu membangunnya butuh waktu lama, minimal 20-30 tahun. Satu dokter dibentuknya 6 tahun sekolah, spesialis 5 tahun, apalagi profesor. Indonesia ini punya permasalahan itu bahkan sebelum wabah," ujar Kamil.
PSBB adalah Kunci
Selain menambah tempat tidur perawatan, PSBB juga mesti dilakukan untuk mencegah kolapsnya faskes. Setidaknya itulah alasan Anies ketika menetapkan kembali PSBB pekan ini.
Dalam paparannya yang disiarkan secara langsung, Anies mengatakan PSBB jilid pertama April lalu berhasil menurunkan angka penularan dan kematian akibat COVID-19.
Kurvanya ketika itu turun, lalu mendatar. Namun, dalam pekan-pekan terakhir ketika pembatasan dilonggarkan, kurvanya kembali naik dengan angka kematian yang terus bertambah.
Berkurangnya pasien selama PSBB juga diakui oleh dr. Ari berdasarkan pengalamannya bertugas di ruang ICU. "Pas zaman PSBB terasa banget dampaknya. Angka pasien nggak begitu banyak, kasus berat juga tidak banyak," katanya.
"Seminggu saat itu tindakan intubasi bisa hanya 1 pasien. Kalau sekarang melonjak lagi, bisa 2-3 pasien."
Kamil menyinggung pembicaraan antara Pandemic Talks dengan Epidemiolog Universitas Indonesia, dr. Pandu Riono, beberapa waktu lalu. Dalam siaran podcast, Pandu menyajikan data pertambahan penderita corona saat dan sesudah PSBB.
Pada April saat PSBB diberlakukan dan masyarakat tinggal di rumah, kasus baru tercatat sedikit dan kurvanya terkendali.
Peningkatan justru terjadi pada Juli dan Agustus saat masyarakat mulai keluar rumah. Data Pandu menunjukkan hanya 30 persen masyarakat yang tinggal di rumah ketika itu.
"Orang Indonesia keluar rumah justru saat kurvanya menanjak. Kalau di konsep wabah, ini tidak sesuai dan memperberat wabah," kata Kamil.
Artikel Lainnya: Pengalaman Mencekam dr. Fajar Didiagnosis Terinfeksi COVID-19
Jangan Bertumpu pada Faskes
WHO menegaskan, mengatasi pandemi tak semata bertumpu pada faskes. Menurut Prof. dr. Tjandra sebagai direktur regional Asia Tenggara WHO, pencegahan penularan adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk mengatasi wabah.
"Ketika ada penyakit menular, ada tiga fase yang harus dilakukan. Pertama dicegah orang jangan sakit. Kedua, kalau tidak bisa dicegah, yang sakit mesti ditemukan agar tidak menulari. Ketiga, ia harus segera diobati," ujar Tjandra.
Maka dari itu, yang diperlukan adalah pendidikan ke masyarakat untuk mencegah penularan corona. Jika masyarakat patuh, maka jumlah penderita akan berkurang dan faskes akan aman ketersediaannya.
"Banyak negara yang pertama kali terkena pandemi, lalu bisa menangani. Mereka menangani bukan hanya di ujung atau rumah sakitnya, tapi dari hulunya atau masyarakatnya," terangnya lagi.
Hal ini diamini oleh Adib dari IDI. Ia mengatakan masalahnya ada di hulu. Masyarakat saat ini banyak yang belum patuh pada protokol sehingga penularan masih banyak terjadi. Hal ini yang menyebabkan rerata positif naik lagi, jumlah ketersediaan tempat tidur menyusut.
"Masih banyak yang abai, bahkan ada yang menganggap virus corona ini bukan sesuatu yang nyata atau konspirasi," kata Adib.
****
Penderita corona makin banyak, rumah sakit terancam kolaps, tenaga medis bertumbangan. Kesedihan dan air mata tak usah ditanya lagi, mengisi hari-hari di ruang-ruang gawat darurat di rumah sakit negeri.
Negara memang tengah berduka, kurva penderita masih betah bertengger di atas enggan turun. Tapi menjaga moral dan mental para nakes jangan dianggap remeh. Tingkat stres sangat tinggi dan tanggung jawab mereka besar.
Bila ditanya, di saat seperti ini apa yang membuat mereka bertahan dan tetap bersemangat padahal pasien tak henti? Para dokter akan menjawab hal itu adalah kesembuhan pasien.
Dokter Ari mengatakan, cemoohan dan caci maki dari keluarga pasien adalah santapannya selama ini. Tekanannya tak bisa dibayangkan, tapi hal ini seketika luntur ketika mendapati pasien yang dirawatnya membaik.
"Hal yang bikin nggak nyaman kerja jadi hilang, stres hilang. Sering saya lihat pasien masuk dengan napasnya satu-satu. Tapi begitu melihat, meskipun lama 1-2 minggu, pasien dari ICU dipindah ke ruang biasa, alhamdulillah itu tidak terbayarkan. Hal ini jadi pendorong, penyemangat, tak bisa diukur dengan nilai," kata Ari.
Saling menyemangati sesama tenaga medis juga cara jitu meningkatkan moral. Kebersamaan dan profesionalisme jangan kendur, optimisme mesti terus dijaga, dengan keyakinan tinggi bahwa badai akan segera berlalu, cepat atau lambat.
"Pasca hujan pasti ada pelangi. Jadi harus tetap semangat dan saling menguatkan, tetap berdoa sama Tuhan. Saya yakin semua pasti ada akhirnya," kata dr. Linda.
(FR/AYU)