Pandemi COVID-19 membuat Ikhsan Bella Persada kewalahan. Sejak pertengahan tahun lalu, jadwal psikolog muda itu mendadak padat.
Jumlah kasus klien yang ditanganinya melonjak drastis. Dalam situasi normal, kata Ikhsan, biasanya ia hanya melayani konsultasi 2-3 orang dalam sepekan.
Pandemi telah mengubah rutinitas itu. Kini, dia bisa memberi konsultasi untuk lima klien dalam sehari.
"Setiap hari dan setiap malam full. Bahkan kadang ada klien yang butuh cepet dan akhirnya di-reverse (dialihkan-red) juga ke kolega psikolog lain," Ikhsan menuturkan perihal kesibukannya kepada Klikdokter.com beberapa waktu lalu.
Ia mulai merasakan tren peningkatan jumlah konsultasi sejak Juni tahun lalu--atau tiga bulan sejak pemerintah mengumumkan kasus pertama COVID-19 pada awal Maret. Kecenderungan itu semakin meningkat pada periode September hingga November 2020.
Sepanjang pandemi, Ikhsan memberikan layanan jarak jauh melalui video call. Sebab, tempat praktiknya belum menyediakan alat pelindung diri untuk mencegah penularan COVID-19.
Sejauh ini, meski jumlah kasus yang ditangani meningkat, Ikhsan tidak menemukan indikasi pola gangguan mental baru. Memang, diakuinya, pandemi telah memunculkan istilah-istilah baru seperti pandemic fatigue.
Hanya saja, penggunaannya belum bisa diterapkan sebagai bentuk gangguan mental. Ikhsan menggunakan terma itu untuk memberi penjelasan yang kontekstual dengan kondisi saat ini.
Keluhan umum klien yang biasa ditemuinya adalah jenuh, tekanan ekonomi, relasi sosial yang berjarak, dll. Akar permasalahannya tidak jauh berbeda pada masalah psikologis pada umumnya, seperti kecemasan dan kesepian.
Gejala-gejala yang tampak pun sama: kesulitan konsentrasi, mood naik-turun, gangguan makan, hingga gangguan tidur.
"Jadi bukan karena masalah pandemi ini saja yang kita lihat. Tapi ada akar lainnya. Si pandemi ini cuma trigger," Ikhsan berujar.
Artikel terkait: Perlu Dijaga, Kesehatan Mental Pasien Virus Corona Juga Penting!
Bagaimanapun pandemi COVID-19 yang telah menjangkiti lebih dari 1 juta orang dan menewaskan hampir 30 ribu orang di Indonesia bukan hanya problem kesehatan fisik. Masalah mental juga menjadi dampak sekunder yang tak bisa disepelekan.
Ikatan Psikologi Klinis Indonesia (IPK Indonesia) mencatat angka kasus sepanjang Maret-Agustus 2020. Hasilnya, kasus klien perorangan berjumlah 14.619, klien keluarga mencapai 927, dan sisanya adalah klien komunitas dengan total 191.
Masalah mental yang muncul selama pandemi kini menjadi perhatian di seluruh penjuru dunia. Sudah banyak penelitian yang mengulas berbagai aspek dari persoalan ini.
Penelitian-penelitian di luar negeri juga menemukan fakta terjadi peningkatan kasus kesehatan mental selama pandemi. Di beberapa negara, peningkatan kasus juga berkorelasi dengan penyalahgunaan obat dan keinginan bunuh diri.
Sebuah survei yang dibiayai Canadian Institutes of Health Research dan the University of Regina, misalnya, mencoba mencari pendekatan yang tepat untuk memahami dampak COVID pada kesehatan mental. Hasilnya, para peneliti mengembangkan skala untuk mengukur stress akibat COVID.
Mereka menyimpulkan setidaknya terdapat lima ciri gangguan mental selama pandemi: ketakutan tertular, ketakutan terhadap dampak sosial-ekonomi, kecemasan yang mendorong untuk berusaha memeriksa ulang segala sesuatu, xenofobia (fobia pada orang asing), gejala stres traumatik.
Kecenderungan yang sama juga terjadi di Indonesia. Hal itu tampak dari survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).
Riset tersebut mendapati, lebih dari setengah partisipan yang berjumlah 5.601 orang mengalami masalah psikologis. Data-data tersebut berasal dari 31 provinsi yang dikumpulkan melalui fitur swaperiksa di situs PDSKJI.
Berdasarkan demografi, masalah psikologis terbanyak dialami orang di rentang usia 17-29 tahun dan di atas 60 tahun. Gangguan yang paling dominan muncul adalah cemas (67 persen), depresi (4 persen) dan trauma (73 persen).
Artikel Lainnya: Petugas Medis Rentan Trauma Psikologis Pasca Penanganan Virus Corona!
Meski tidak ada data sebelum pandemi yang bisa menjadi pembanding, ada kecenderungan kenaikan angka kasus.
"Depresi itu pada umumnya hanya 33 persen tapi sekarang bisa sampai 64 persen. Berarti, kan, ada peningkatan," papar Diah Setia Utami, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSJKI), kepada Klikdokter.com.
Ia menduga angka riilnya bisa jadi lebih besar. Sebab, Diah tak menampik kemungkinan ada kasus-kasus yang tidak terlaporkan.
Peningkatan kasus kesehatan jiwa juga bisa dicermati dari Data Kementerian Kesehatan. Per Juni 2020 saja, lembaga tersebut mencatat 277 ribu kasus kesehatan jiwa.
Padahal, pada tahun sebelumnya angka kasus hanya mencapai 197 ribu. Pandemi ditengarai menjadi pemicu utama ledakan kasus tersebut.
Hal itu yang diungkapkan Siti halimah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes, pada kesempatan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Oktober lalu.
Artikel terkait: Tips Menjaga Kesehatan Mental Selama Resesi Ekonomi
Diah juga mengutarakan pandangan senada. Menurutnya, pandemi telah mendisrupsi kehidupan secara menyeluruh dan berdampak pada semua orang.
Perubahan dan ketidakpastian itu yang menjadi faktor utama masalah mental. Persoalannya, tidak semua orang siap dengan perubahan-perubahan itu.
Kemampuan adaptasi setiap orang, kata dia, tidak sama. Itu sebabnya, masing-masing pribadi punya respons yang juga berbeda.
Selain itu, yang tak kalah penting, beberapa kelompok akan lebih rentan dibanding yang lain. "Mereka-mereka yang sebelumnya sudah memiliki gangguan mental, adaptasinya tidak akan semudah orang yang masih sehat mentalnya," ujarnya mengingatkan.
Diah menuturkan, sejak pandemi, banyak kliennya yang mengeluhkan terapi yang selama ini diberikan tidak lagi ampuh.
"Kok sekarang enggak mempan lagi Dok obatnya, boleh enggak ditambah dosisnya, saya cuman minum pagi dan malam boleh enggak tambah?" Diah menirukan keluhan yang kliennya.
Artikel Lainnya: Penyintas COVID-19 Rentan Kena Gangguan Mental Ini!
Bahkan, pandemi membuat klien Diah yang semula kondisinya sudah stabil kembali mengalami gangguan. Persoalan lain yang diprediksi muncul adalah ancaman dampak masalah mental berkepanjangan meski nantinya pandemi berakhir.
"Setidaknya post-trauma disorder pasti akan meningkat. Trauma-trauma itu kan tidak bisa hilang begitu saja, tidak bisa diobati begitu saja apalagi dengan situasi yang seperti ini," ujar Diah.
Yang pasti, peningkatan kasus dalam situasi pandemi menjadi tantangan tersendiri bagi pelayanan kesehatan mental. Di satu sisi, ada dorongan agar layanan bisa menjangkau semakin banyak orang.
Namun, di sisi lain ada pula tuntutan untuk meminimalkan risiko tenaga kesehatan tertular COVID-19. Penggunaan teknologi menjadi pilihan untuk memberikan konsultasi jarak jauh.
PDSJKI, misalnya, telah membuat petunjuk tatalaksana penanganan klien. Konsultasi sebisa mungkin dilakukan tanpa tatap muka dengan menggunakan bantuan teknologi.
Pelayanan tatap muka baru dilakukan ketika klien berada pada situasi kegawatdaruratan psikiatri.
"Misalnya mungkin dia bisa melukai dirinya sendiri atau orang lain. Tidak mungkin melalui telemedicine, takutnya apabila kayak gitu didiamkan bisa bahaya bagi dirinya atau keluarganya," kata Diah.
Artikel terkait: Penyintas COVID-19 Rentan Kena Gangguan Mental Ini!
Kementerian Kesehatan juga sudah bergerak untuk mengisi celah pelayanan di masa pandemi. Oktober lalu, lembaga itu meluncurkan Aplikasi Sehat Jiwa.
Harapannya, program tersebut mampu membantu masyarakat mengakses konsultasi kesehatan jiwa. Aplikasi Sehat Jiwa memiliki fitur bimbingan dan konseling kesehatan jiwa yang diampu para psikiater dan psikolog.
Di lapangan, pada kasus tertentu, layanan kesehatan mental jarak jauh menemui sejumlah kendala. Cerita Rita (25 tahun ), bukan nama sebenarnya, misalnya.
Jauh sebelum pandemi, dia rutin berkonsultasi ke psikolog untuk mengatasi masalah gangguan trauma. Pandemi membuat kondisi mentalnya--yang sebelumnya relatif stabil--kembali terguncang.
Dampaknya merembet hingga hubungan asmaranya kandas dan membuat pekerjaanya berantakan. September tahun lalu ia kembali menggunakan layanan psikolog secara daring.
Rita merasa tidak mendapat kualitas konsultasi yang sama dengan konsultasi tatap muka.
"Bonding-nya enggak dapet. Kedua, jadi enggak bisa lama-lama kalau online. Belum lagi noise-noise, internet lemot, mati atau ngadat atau delay. Itu membuat gue jadi enggak mood," keluhnya.
Keterbatasan-keterbatasan itu membuat Rita tidak leluasa mencurahkan emosi pada sesi konsultasi. Biasanya, dalam pertemuan dengan psikolog, dia bebas meluapkan semua emosi yang dirasakan dari menangis hingga marah-marah. Di sisi lain, ia merasa biaya konsultasi menjadi lebih mahal di masa pandemi.
Survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyimpulkan pandemi mendisrupsi pelayanan kesehatan mental di 93 persen negara di seluruh dunia. Perlu terobosan-terobosan baru dalam layanan kesehatan mental.
Yang menjadi catatan, pembiayaan aspek kesehatan mental di banyak negara masih jauh dari cukup. Kebanyakan negara, tulis laporan WHO, membelanjakan kurang dari 2 persen anggaran kesehatan nasional untuk penanganan kesehatan mental.
WHO meminta pemerintah di dunia untuk berinvestasi lebih banyak pada aspek kesehatan mental masyarakat. Berdasarkan survei yang sama, 89 persen negara telah mengintegrasikan kesehatan mental dalam rencana penanganan COVID-19.
Masalahnya, hanya 17 persen yang telah merealisasikan penambahan anggaran untuk aktivitas tersebut. "Kesehatan mental tak bisa dibantah merupakan aspek fundamental dari kesehatan dan kebahagiaan yang utuh," kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur WHO, mengingatkan.
Apabila Anda mengalami kegelisahan dan kecemasan yang berlebih, tidak ada salahnya berkonsultasi dengan psikolog lewat fitur Live Chat di aplikasi KlikDokter.
[JKT/ARM]