Klikdokter - Ramainya kasus kematian 8 penduduk Majalaya setelah program pengobatan massal cacing filaria pada tanggal 10 November 2009 silam masih banyak menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Pengobatan massal yang diselenggarakan untuk mensukseskan program WHO untuk mengeliminasi filariasis pada tahun 2020 ini justru dianggap membawa petaka bagi masyarakat Indonesia. Obat-obatan yang diberikan pada pengobatan massal tanggal 10 November 2009 merupakan obat dengan jenis dan dosis yang sudah sesuai anjuran pengobatan massal dari WHO, yaitu DEC 6mg/kg dan Albendazol 400 mg dan paracetamol 500 mg yang akan diberikan 1 tahun sekali selama 5 tahun. Pihak Depkes juga telah menegaskan bahwa obat-obatan yang digunakan masih memiliki mutu yang bagus dan tidak kadaluarsa. Menurut Guru Besar bagian Farmakologi FKUI sekaligus Ketua Komite Ahli Pengobatan Filariasis (KAPFI) Prof. Dr. dr. Purwantyastuti, M.Sc., Sp.FK, obat-obatan itu, terutama DEC memang memberikan efek samping yang tidak menyenangkan seperti mual, muntah, sakit kepala dan lain sebagainya. Efek samping ini timbul sebagai respon tubuh terhadap matinya mikrofilaria di dalam tubuh penderita. Semakin banyak mikrofilaria yang terkandung di dalam tubuh, maka gejala yang timbul akan semakin berat. Namun gejala ini akan segera menghilang dalam 1 atau 2 hari dengan beristirahat. “Lebih baik mengalami efek samping obat selama beberapa hari daripada harus mengalami cacat seumur hidup akibat penyakit filariasis”, ucap Prof. dr. Purwantyasturi. Lebih lanjut, Prof. dr. Purwantyastuti juga mengatakan bahwa obat ini sudah digunakan bertahun-tahun, di berbagai negara endemis filaria namun tidak pernah ada laporan yang mengatakan bahwa pemberian obat-obatan ini dapat menimbulkan kematian. Timbulnya kematian ini harus ditinjau lagi dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk penyerapan obat. Tidak mungkin seseorang dapat meninggal akibat penggunaan obat jika obat tersebut baru satu jam diminum, karena obat butuh waktu sekitar 1 hingga 4 jam untuk di serap dari saluran cerna dan disebarkan dalam darah.Krisis Filariasis, Krisis Media
Menyoal berita kematian 8 warga bertepatan dengan jadwal pengobatan massal di Majalaya, sedikit banyak terdapat peran media massa dalam menyajikan pemberitaan kurang berimbang dan komprehensif sehingga mengakibatkan terbentuknya persepsi publik yang terlanjur memojokkan niat mulia para pelaku kesehatan yang terlibat. Sebagaimana diklarifikasikan mengenai penyebab kematian dari ke-8 orang penduduk Majalaya, Prof. dr. Purwantyastuti mengatakan bahwa dari delapan warga yang meninggal, tiga orang diantaranya belum sempat meminum obat yang diberikan saat pengobatan massal, sementara lima orang lainnya meninggal disebabkan penyakit lain yang diderita warga sebelumnya (faktor koinsidensi). Tiga orang dari lima orang yang meninggal tersebut menunjukkan tanda serangan jantung dan dua lainnya memperlihatkan gejala stroke. Informasi itu diperoleh dari formulir data keluhan pasien yang diisi petugas kesehatan saat yang bersangkutan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Terkait dengan fakta tersebut, setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, ditemukan secara kebetulan bahwa laporan kesehatan dari daerah Majalaya sendiri juga menunjukkan bahwa insidens terjadinya serangan jantung dan stroke di daerah tersebut cukup tinggi. Pun isu mengenai banyaknya warga yang berobat di RS Majalaya, hal itu disebabkan karena warga merasa takut dan khawatir akan efek samping obat yang terjadi, seperti mual, muntah, pusing dan lain sebagainya. Pemberian obat ini sebaiknya memang diberikan hanya kepada penderita filariasis, namun sangat sulit untuk menegakkan diagnosis filariasis karena dibutuhkan pemeriksaan darah malam. Cacing filaria dewasa hidup di dalam saluran limfe, namun cacing yang kecil, mikrofilaria akan keluar masuk ke pembuluh darah di malam hari terutama pada pukul 20.00 hingga pukul 00.00. Pada saat itulah sebaiknya pemeriksaan darah dilakukan. Sulitnya prosedur tersebut dan luasnya daerah yang endemis dengan filaria membuat pemeriksaan ini tidak memungkinkan dilakukan sebelum diadakan pengobatan massal. Meskipun demikian, pemberian obat ini tidak akan memberikan efek samping yang lebih berat pada orang yang tidak menderita filaria karena efek samping pengobatan ini timbul sebagai respon tubuh terhadap mikrofilaria yang mati. Pemberitaan dari berbagai pihak media yang terlanjur mengambil sudut pandang subjektif, menuai opini publik pemrotesan keras kepada kelangsungan pengobatan massal tersebut. Pun walau demikian masih terdapat tudingan kepada malfungsi komunikasi sosial kepada pihak otoritas kesehatan mengenai kurangnya sosialisasi serba-serbi filariasis kepada masyarakat. Mengenai hal ini, para pihak pelaku medis sendiri yang terlanjur terpojok oleh opini publik akibat pemberitaan tak berimbang, hanya bisa menghela napas panjang. Karena sebenarnya mereka sendiri sudah melakukan proses sosialisasi, namun ironisnya tidak pernah terbantu mediasi ke masyarakat terkait peran dan fungsi media massa itu sendiri. Karena itu, meskipun banyak penduduk yang protes mengenai pelaksanaan pengobatan massal ini, akibat kurangnya pengetahuan mengenai serba serbi filariasis, Depkes tetap akan melanjutkan program pengobatan massal filariasis sesuai deklarasi WHO Tahun 2000 untuk mengeliminasi filariasis sebagai masalah kesehatan masyarakat di tahun 2020.[](DI/DA)