Pelayanan kesehatan digital atau yang disebut juga dengan eHealth (electronic Health) mulai berkembang di Indonesia semenjak tahun 90-an dalam bidang telemedika (telemedicine). Telemedika adalah praktik pelayanan kesehatan dengan menggunakan perangkat komunikasi audio, visual, dan data untuk kepentingan perawatan, diagnosis, konsultasi, pengobatan, pertukaran data medis serta diskusi ilmiah jarak jauh.
Telemedika dapat dikategorikan berdasarkan ragam interaksi antara klien dengan ahli kesehatan dan jenis informasi yang disalurkan. Ragam interaksi ini mencakup interaksi real-time atau pre-recorded. Interaksi sendiri dapat terjadi di antara dokter dengan dokter atau perawat dengan dokter (telekonsultasi), pasien dengan dokter, pasien dengan perawat (telenursing), dan pasien dengan apoteker (telefarmasi). Selain itu, berdasarkan jenis informasi yang disalurkan, praktik Telemedika di Indonesia mencakup informasi teleradiologi, telekardiologi, dan telepatologi.
Memasuki era milenium, layanan eHealth di Indonesia terlihat semakin berkembang secara signifikan. Namun, sayangnya penyediaan jasa layanan ini masih terbatas dalam pembuatan rekam jejak medis elektronik dan peresepan elektronik saja. Meski begitu, perkembangan pesat layanan eHealth Indonesia tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Hal ini terbukti dari semakin menjamurnya situs-situs informasi kesehatan dengan fitur e-konsultasi dan tanya jawab interaktif. Selain itu, jumlah aplikasi kesehatan berbasis mobile dan penggunaan media sosial untuk mendapatkan informasi kesehatan juga semakin meningkat.
Antara Wacana dan Kebutuhan
Kemajuan teknologi layanan kesehatan ini memunculkan suatu fenomena baru bagi perkembangan dunia kesehatan di Indonesia. Suatu fenomena di mana dunia kesehatan kini tidak lagi mengenal batas-batas ruang dan waktu. Pasien dapat dengan mudah mengakses informasi kesehatan, bertanya dan bahkan berkirim pesan secara real-time dengan dokter di mana pun serta kapan pun. Namun, kemunculan tren ini juga menyisakan sebuah tanda tanya besar terkait dengan keberadaan regulasi. Jika interaksi antara dokter dan pasien secara konvensional (konsultasi tatap muka) memiliki aturan jelas yang diatur dalam Undang Undang No. 29 Tahun 2004 mengenai Praktik Kedokteran. Lalu, regulasi apa yang dapat digunakan untuk mengatur interaksi dokter dan pasien secara virtual?
Untuk dapat memahami pertanyaan ini, ada baiknya kita cermati secara dalam kutipan pernyataan pakar hukum kesehatan Indonesia, Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpF(K), SH, LLM, FACLM, terkait sejauh mana eHealth bisa dilaksanakan di Indonesia:
“Telemedika yang spesifik seperti telekardiologi, teleradiologi, dan telepatologi, lebih bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, yang terjadi adalah transfer of knowledge atau konsultasi antardokter, untuk meningkatkan akurasi diagnosis. Khususnya akurasi diagnosis, bukan terapi.
Kemudian, transaksi kedokteran melalui dunia maya adalah hubungan terapeutik (upaya untuk menyembuhkan). Transaksi terapeutik mengandung kepercayaan/trust dari pasien kepada dokter dan dari dokter kepada pasien. Bila pasien mengenal dan melihat dokternya secara langsung, relasi tersebut lebih ‘human’, bukan lebih ‘robotic’.
Sampai saat ini, saya melihat layanan eHealth di Indonesia untuk pasien masih sebatas promosi kesehatan. Saya belum melihat solusi untuk mengatasi risiko/hazard yang ditimbulkan dari layanan kesehatan online. Terutama moral hazard itu tadi karena tidak ada komunikasi langsung (tatap muka) antara dokter dan pasien. Dalam teleradiologi misalnya, pasien akan ditangani oleh dokter pemeriksa terlebih dulu. Ketika memerlukan konsultasi lanjutan untuk mengkonfirmasi diagnosis secara radiologis, dokter pemeriksa akan mengirim foto radiologi pasien kepada dokter spesialis dan kemudian menerima kembali hasil jawaban konsultasinya. Yang paling penting, hubungan dokter-pasien yang sesungguhnya itu ada dulu. Menurut saya, eHealth lebih berperan sebagai layanan tambahan, penunjang, pendukung, bukan yang utama.”
Layanan eHealth di Indonesia yang lazim dipakai saat ini sebagian besar baru ditujukan untuk mengintegrasikan sistem informasi manajemen rumah sakit (rekam jejak medis elektronik, peresepan elektronik, dsb), promosi kesehatan (pemberian informasi kesehatan dari para ahli/dokter kepada pasien) serta untuk menunjang diagnosis (konsultasi antardokter melalui teleradiologi, telekardiologi, telepatologi). Regulasi terhadap ketiga layanan ini sudah ada, namun belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai isu terkait implementasi eHealth.
Melihat perkembangan dunia digital yang sangat pesat dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang cepat, aman, dan nyaman, tentu dibutuhkanregulasi eHealth yang lebih komprehensif. Namun, hal ini sepertinya masih merupakan wacana yang belum bisa dieksekusi dalam waktu dekat. Mengutip pernyataan Prof. Herkutanto diatas, eHealth masih memiliki potensi risiko yang sangat besar, yang di antaranya terkait dengan keamanan dan kerahasiaan data pasien, masalah etika, kredibilitas dokter, dan masih banyak lagi. Berbagai risiko tersebut sebaiknya harus diidentifikasi terlebih dahulu sebelum kemudian dicarikan solusinya. Jika hal ini terpenuhi, barulah para stakeholder terkait bisa membuat aturan dan batasan-batasan tertentu bagi layanan eHealth yang aman, nyaman, dan etis. Tentunya perumusan regulasi ini harus ditujukan untuk melindungi pasien, dokter, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan pelayanan eHealth.
Sekarang pertanyaannya, siapakah yang akan mengambil peran untuk mengangkat dan mendorong terwujudnya regulasi eHealth ini? Apakah para anggota dewan, institusi pemerintah, Konsili Kedokteran Indonesia, institusi pendidikan, komunitas pemerhati kesehatan, organisasi profesiatau para praktisi kesehatan? Mari bersama-sama kita pikirkan, demi Indonesia yang lebih maju.
(BN/RH)