Pada masa penjajahan, semua orang Indonesia turut andil berjuang dalam merebut kemerdekaan. Hal itu juga dilakukan oleh para dokter Indonesia saat itu. Keinginan untuk lepas dari penjajahan membuat segenap elemen putra terbaik Tanah Air turun tangan. Meski bergelar dokter, mereka tak ragu untuk membuat organisasi yang mampu membuat Belanda kebakaran jenggot.
Atas jasa-jasa mereka selama masa perjuangan, para dokter ini pun mendapat gelar sebagai pahlawan nasional karena keberanian mereka melawan penjajah. Ya, lima dokter ini memiliki peranan penting dalam mendirikan organisasi Budi Utomo, sebuah organisasi pertama yang ada di Indonesia.
Memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, sangat relevan mengenang jasa para dokter tersebut.
Berikut ini profil kelima dokter yang turut berjuang dalam kemerdekaan Indonesia:
Selanjutnya
1. Wahidin Soedirohoesodo
Dokter Wahidin Soedirohoesodo yang lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta, pada 7 Januari 1852 merupakan salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo, walaupun dia bukanlah pendiri organisasi tersebut. Melalui gagasannya berdirilah organisasi yang diprakarsai para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Jakarta itu.
Dokter lulusan STOVIA ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa meski lahir dari keluarga yang berkecukupan. Dia pun menjadi sangat menyadari bagaimana terbelakang dan tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan adalah rakyat harus cerdas. Untuk itu, rakyat harus sekolah. Sebagai dokter, dia sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.
Dua pokok perjuangannya ialah memperluas pendidikan dan pengajaran serta memupuk kesadaran kebangsaan. Sempat menemui kendala karena tidak menemui tokoh yang sevisi dengannya, Wahidin kemudian mencetuskan idenya kepada para pelajar di STOVIA yang menyambutnya dengan tangan terbuka.
Gagasan inilah yang mendorong didirikannya Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Meski bukan pendiri, dia adalah penggagas sampai organisasi itu bisa dikenang sampai sekarang ini.
Wahidin Soedirohoesodo wafat pada 26 Mei 1917, di usia 65 tahun. Dia dimakamkan di Mlati, tanah kelahirannya. Tanggal 6 November 1973, dr. Wahidin Sudirohusodo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional sesuai dengan Keppres No. 88/TK/1973.
Selanjutnya
2. Tjipto Mangoenkoesoemo
Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo lahir di Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah. Sama seperti Wahidin, tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia ini juga lulusan STOVIA.
Tjipto sangat vokal mengritik kekejaman Belanda. Beberapa kali dia harus diasingkan karena sikapnya yang dinilai radikal. Bersama dengan Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara, ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai”. Saat itu, ketiganya menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda.
Bersama Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara pula dia mendirikan Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913, dia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali pada 1917.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil jalur pendidikan, Tjipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat). Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.
Tjipto wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa. Namanya kemudian diabadikan sebagai rumah sakit di daerah Jakarta Pusat dengan nama Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Selanjutnya
3. Soetomo
Dokter Soetomo lahir di Nganjuk, Jawa Timur, pada 30 Juli 1888. Dia adalah tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.
Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di STOVIA. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah, ia mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah lulus pada tahun 1911, dia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra, yakni Tuban, Lubuk Pakam, dan akhirnya ke Malang.
Kiprahnya di Malang membuat dia dikenang oleh warga “Kota Apel” tersebut. Di situlah dia berhasil membasmi wabah pes yang saat itu menyerang Indonesia. Pada tahun 1919 sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di Belanda.
Soetomo tergolong aktif dalam berorganisasi. Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club di Surabaya. Organisasi ini berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, dan koperasi. Pada tahun 1930 mendirikan Partai Bangsa Indonesia dan pada tahun 1935 mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya).
Pada 30 Mei 1938, di usia 50 tahun, dr. Soetomo meninggal dunia di Surabaya. Di masa hidupnya, selain menjadi dokter dan aktif di bidang politik, dia juga aktif di bidang kewartawanan.
Selanjutnya
4. Radjiman Wedyodiningrat
Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat yang lahir di Yogyakarta, 21 April 1879, adalah seorang dokter yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia. Keinginan kuatnya untuk mengenyam pendidikan sangat terlihat ketika dia belajar di bawah jendela sekolah orang Belanda; atas belas kasihan guru, dia pun diizinkan mengikuti pelajaran di dalam kelas.
Pada usia 20 tahun dia sudah lulus menjadi dokter dan mendapat gelar Master of Arts pada usia 24 tahun. Hebatnya lagi, dia pernah mengenyam pendidikan di Belanda, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat.
Radjiman menuntut ilmu kedokteran setelah dirinya merasa prihatin ketika masyarakat Ngawi dilanda wabah penyakit pes yang luar biasa. Ia juga mempelajari ilmu kandungan karena melihat banyak ibu di Indonesia saat itu meninggal sehabis melahirkan.
Dokter Radjiman pernah menjadi ketua Budi Utomo pada 1914-1915. Salah satu posisi penting yang membuat dia dipandang adalah dia pernah menjadi Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia juga yang mengajukan pertanyaan soal dasar negara yang kemudian dijawab oleh Soekarno dengan nama Pancasila.
Dokter Radjiman wafat pada 20 September 1952 di Ngawi, kota tempatnya pernah mengabdi sebagai dokter. Namun, dimakamkan dekat dengan pusara dr. Wahidin Soedirohoesodo di Mlati, Yogyakarta.
Selanjutnya
5. Moestopo
Mayor Jenderal TNI (Purn.) Prof. DR. Moestopo lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, pada 13 Juni 1913. Dia adalah seorang dokter gigi Indonesia, pejuang kemerdekaan, sekaligus pendidik.
Moestopo mengenyam pendidikan Sekolah Kedokteran Gigi di Surabaya. Praktik dokter gigi yang dirintisnya tidak bisa berlanjut pada 1942 saat Jepang mulai menduduki Indonesia. Moestopo ditangkap oleh Kempeitai (tentara Jepang) karena terlihat mencurigakan.
Setelah dibebaskan, dia sempat menjadi dokter gigi untuk orang-orang Jepang di Indonesia, tetapi akhirnya memutuskan untuk mengikuti pelatihan perwira tentara. Setelah lulus dengan pujian, Moestopo diberi komando pasukan PETA di Sidoarjo, dia kemudian dipromosikan menjadi komandan pasukan di Surabaya.
Sementara di Surabaya, selama Revolusi Nasional Indonesia, Moestopo menghadapi pasukan ekspedisi Inggris yang dipimpin oleh Brigadir Walter Sothern Mallaby Aubertin yang kala itu bersama Belanda melancarkan agresi militer ke-II.
Selama perang dia menjabat beberapa posisi lain untuk menyebarkan kebingungan di jajaran pasukan Belanda. Setelah perang, tepatnya pada 1958 – setelah pelatihan di Amerika Serikat – dia mendirikan Dr. Moestopo Dental College, yang terus dikembangkannya sampai menjadi sebuah universitas pada 15 Februari 1961. Dia mendirikan Universitas Moestopo sebagai kecintaannya pada dunia pendidikan.
Dokter Moestopo wafat di Bandung pada 29 September 1986. Pada 9 November 2007, dia mendapat gelar pahlawan nasional dan sekaligus mendapatkan tanda jasa Bintang Mahaputera Adipradana.
Perjuangan para dokter tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan bangsa untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Nama mereka harum dan akan selalu dikenan. Kini, menjadi tugas masyarakat seluruhnya untuk senantiasa menjaga kemerdekaan ini dengan berkontribusi secara positif untuk bangsa dan negara Indonesia.
[RS/ RVS]