Terkena infeksi bakteri, misalnya demam tifoid (tifus), radang tenggorokan, gonore, otitis media, atau infeksi saluran kemih, bisa sangat menyakitkan. Proses penyembuhannya pun juga bisa lebih lama karena sering kali diperlukan terapi antibiotik. Namun, jika penderita punya alergi antibiotik, apa solusinya?
Bagi yang tak punya alergi antibiotik, mungkin pengobatan infeksi bakteri bisa dijalani tanpa rasa khawatir. Namun, jika terdapat alergi antibiotik, pengobatan bisa menjadi sesuatu yang menantang, baik untuk pasien maupun dokter. Kalau kondisinya begini, dokter harus mencari alternatif pengobatan yang tepat tanpa memicu alergi pasien.
Salah satu cara yang biasa dilakukan dokter untuk mengetahui ada atau tidaknya alergi antibiotik atau obat lainnya adalah dengan melihat riwayat obat-obatan yang dikonsumsi, serta memeriksa riwayat keluhan yang terjadi.
Menurut dr. Valda Garcia dari KlikDokter, memang tidak ada cara lain untuk membunuh bakteri selain dengan menggunakan antibiotik. Sehingga, penderita alergi antibiotik jenis tertentu tetap harus mengonsumsi antibiotik agar kondisi tubuhnya membaik.
“Dokter biasanya akan mencarikan alternatif antibiotik lain. Misalnya, pasien mengatakan bahwa dia pernah mengalami alergi dengan antibiotik A, maka dokter akan mencoba antibiotik B atau C, atau jika perlu akan dilakukan skin test dan semacamnya. Langkah tersebut penting untuk mencari tahu respons tubuh terhadap antibiotik yang akan diberikan,” kata dr. Valda menerangkan.
Jika setelah beberapa saat area kulit yang diuji tampak aman-aman saja, tidak merah, gatal, atau bentol, itu berarti tubuh pasien bisa menerima antibiotik baru dari dokter.
Beberapa jenis antibiotik yang kerap menimbulkan alergi karena sifat kimiawinya, antara lain penisilin, tetrasiklin, dan antibiotik golongan sulfonamida (sulfa). Pada kasus yang lebih jarang terjadi, golongan sefalosporin juga dapat menimbulkan alergi.
Kendati demikian, jika ditanya mana yang paling sering menyebabkan alergi pada orang-orang yang memiliki tingkat sensitivitas imun yang tinggi, jawabannya adalah penisilin. Bahkan, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) mengatakan, 10 persen warga Amerika Serikat melaporkan alergi penisilin, meski hanya 1 persen yang benar-benar dinyatakan alergi setelah dilakukan skin test dan challenge doses. Itu karena, tidak semua reaksi pada tubuh setelah meminum obat itu dapat dikatakan sebagai alergi.
Dokter juga biasanya akan memberikan obat-obatan untuk menangani reaksi alergi akibat antibiotik, yaitu antihistamin (untuk menghilangkan gatal, ruam, dan bersin), epinephrine (untuk mengatasi alergi yang menyebabkan reaksi anafilaksis), dan kortikosteroid (untuk mengatasi peradangan akibat reaksi alergi yang lebih serius).
Reaksi alergi terhadap obat, dari ringan hingga berat
Reaksi alergi terhadap obat, tak terkecuali antibiotik, ada yang ringan dan ada yang berat. Reaksi alergi yang umum seperti gatal, kulit kering, bentol, dan bersin-bersin biasanya bisa diatasi dengan konsumsi antihistamin.
Sementara itu, reaksi alergi obat yang lebih serius bisa menyebabkan kulit menjadi melepuh, mengelupas, gangguan penglihatan, dan pembengkakan yang lebih parah di bagian tubuh tertentu. Misalnya kelopak mata, bibir, juga disertai dengan rasa gatal.
Apabila gejalanya sudah menimbulkan sesak napas, kesemutan, peningkatkan detak jantung, turunnya tekanan darah, hingga hilangnya kesadaran, itu semua dikategorikan sebagai gejala alergi berat alias reaksi anafilaksis. Kondisi tersebut mesti segera ditangani oleh petugas medis agar tidak sampai mengancam nyawa penderitanya.
Jika Anda terkena penyakit akibat infeksi bakteri tetapi alergi antibiotik, dokter nantinya akan membantu mencarikan alternatif antibiotik lainnya. Jika perlu, berbagai tes akan dilakukan untuk mencari tahu respons tubuh terhadap antibiotik yang akan diberikan. Selama pengobatan berlangsung, hindari konsumsi suplemen herbal atau kimia lainnya, apalagi konsumsinya tanpa pengawasan dari dokter, demi menghindari interaksi negatif antar obat.
(RN/ RVS)