Beberapa kasus korban KDRT dapat dengan mudah dilihat di portal berita online atau media sosial. Namun, tahukah kamu bahwa sebenarnya tak semua orang punya keberanian untuk melaporkan dan memviralkan penganiayaan yang dialaminya?
Korban KDRT ternyata punya pertimbangan sendiri dan hal itulah yang membuat mereka menahan diri.
The National Crime Victimization Survey yang dikelola oleh Bureau of Justice Statistic, Amerika Serikat, menyatakan bahwa di tahun 2018, hanya ada 47 persen kasus KDRT yang dilaporkan ke polisi.
Di Indonesia sendiri, menurut Komnas Perempuan, kejadian KDRT di tahun 2020 mencapai 299.911 kasus. Angka tersebut mengalami peningkatan sejak pandemi virus corona.
Berkaca dari banyaknya jumlah KDRT yang diterima Komnas Perempuan, sayang sekali bila kasus ini tidak diusut tuntas dan diproses secara hukum. Namun, sekali lagi, setiap korban KDRT memiliki alasan tersendiri untuk tidak melaporkannya ke polisi ataupun pihak lain.
Artikel Lainnya: Benarkah Kebiasaan KDRT Bisa Sembuh?
Sejumlah faktor diduga menjadi alasan korban KDRT untuk tidak mengungkapkan hal yang dialaminya, antara lain:
1. Pasangan Tak Terlihat Seperti Pelaku
Pelaku kekerasan jarang bertanggung jawab atas tindakannya. Mereka menipu orang lain dengan sikapnya yang “baik” dan penampilan luarnya yang rapi serta menawan.
Orang-orang tak akan langsung percaya jika pasangan melakukan kekerasan dan justru menyalahkan kamu yang dianggap tak mampu mengimbangi kondisinya.
2. Terapis dan Dokter Mendeteksi Adanya Masalah
Ada potensi bahwa dokter atau penyedia layanan kesehatan hanya akan mencatat pola tidak sehat dalam pemikiran atau perilaku korban. Hal ini bisa terjadi ketika korban belum menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Sebagai contoh, korban KDRT dapat mengembangkan gejala yang menyerupai gangguan kepribadian.
Selain itu, kekerasan juga meningkatkan risiko kondisi kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan post traumatic stress disorder (PTSD).
Jika penyedia layanan kesehatan hanya fokus pada gejala, hal tersebut dapat memperburuk ketakutan korban untuk speak up.
Artikel Lainnya: Kenali Bentuk dan Tanda Kekerasan Rumah Tangga
3. Sempat Melindungi Diri dengan Serangan Balik
Kamu telah bertindak secara verbal atau fisik, seperti berteriak, mendorong, atau memukul pelaku kekerasan selama konflik berlangsung.
Meski tujuannya untuk membela diri, tindakan tersebut tetap dapat memunculkan kekhawatiran bahwa kamu juga akan dituduh melakukan kekerasan.
Pelaku kekerasan mungkin menggunakan insiden tersebut untuk memanipulasi kamu. Ia akan menggambarkannya sebagai bukti bahwa kamu adalah orang yang melakukan kekerasan tersebut, bukan dirinya.
4. Masih Bergantung Secara Ekonomi
Kondisi ini biasanya sering menimpa istri yang tidak memiliki penghasilan sendiri. Jika pasangannya diproses secara hukum dan ditahan di penjara, ia akan khawatir dengan nasib keluarganya, terutama keberlangsungan hidup anak-anak.
Orang-orang yang merasa ketergantungan tersebut biasanya baru berani mencari bantuan atau melapor ke polisi ketika sudah menerima tindak kekerasan yang sangat parah.
5. Masih Berharap Bisa Berubah
Kadang-kadang, alasan korban KDRT tak mau melapor juga bisa karena masih cinta dan berharap pelaku bisa berubah suatu hari.
Apabila rasa cinta sudah tidak ada lagi, korban KDRT pun cenderung enggan bercerai lantaran rasa malu ataupun karena adanya tekanan dari keluarga besar.
6. Mendapat Teror dari Pelaku Jika Berani Melapor
Meski belum melapor polisi, sebagian korban KDRT ada yang berhasil melarikan diri dan membawa anak-anak mereka tempat yang lebih aman.
Saat hal ini terjadi, pelaku biasanya akan melakukan teror kepada korban, baik secara langsung maupun tidak.
Korban akan dibuat tidak tenang dan menyerah. Tak mau diceraikan dan takut masuk bui adalah alasan pelaku melakukan teror.
7. Dianggap Normal
Budaya patriarki membuat derajat wanita menjadi lebih rendah. Banyak kesalahan pria yang dianggap normal. Misalnya suami korban adalah pengangguran. Karena stres tak punya pekerjaan, ia justru melampiaskannya kepada keluarga.
Orang lain mungkin akan menilai bahwa hal ini wajar. “Ya, habis bagaimana, pasti stres karena tidak punya pekerjaan. Apa tidak dibantu saja suaminya?”
Kalimat normalisasi seperti itu sangat menyakitkan untuk korban KDRT dan membuatnya enggan melapor karena takut disudutkan.
8. Merasa Belum Separah Itu
Jika bicara penindasan, mungkin orang akan berpikir bahwa korban harus babak belur terlebih dahulu.
Padahal, tidak seperti itu konsepnya. Penindasan verbal dan intimidasi yang dilakukan setiap hari juga termasuk kekerasan dalam rumah tangga.
Orang lain juga sering membanding-bandingkan penderitaan korban. Rasa sakitnya tidak dianggap serius lewat kata “masih mending”. Korban menjadi tidak yakin dengan apa yang dialaminya, meski sebenarnya kekerasan itu nyata.
Kondisi tersebut berkaitan juga dengan normalisasi di poin sebelumnya. Korban takut terkhianati oleh sistem peradilan dan masyarakat di sekitarnya.
Artikel Lainnya: Waspada, Masalah Rumah Tangga Bisa Ganggu Kesehatan Pria!
9. Malu
Banyak orang merasa malu dengan pengalaman yang dimilikinya. Mereka tidak ingin mengungkapkan hal tersebut dan mengganggapnya sebagai aib yang tidak perlu diketahui oleh orang lain.
Apalagi jika rumah tangga kamu dikenal luas sebagai pasangan harmonis. Rasa malu tersebut pasti akan makin besar.
“Kurangnya pengetahuan biasanya membuat korban bingung harus meminta bantuan ke mana. Lalu, ada juga yang merasa bahwa dirinya memang layak untuk mendapatkan tindakan tersebut, padahal tidak,” ucap Ikhsan Bella Persada, M.Psi., Psikolog.
“Jika belum berani ke polisi, keluarga kandung dan tenaga profesional seharusnya masih bisa membantu korban. Sadari juga bahwa perilaku kekerasan sulit untuk diubah. Jadi, kamu tidak perlu terlalu berharap,” pungkasnya.
Itu dia sejumlah alasan kenapa korban KDRT tidak mau melapor ke polisi. Untuk melindungi diri dari serangan pelaku, simpan nomor darurat yang bisa dihubungi.
Kamu bisa mendapatkan hotline untuk layanan tersebut di internet, sesuai daerah tempat tinggal.
Kamu juga bisa menelepon 119 ext.8. Itu merupakan layanan psikologi untuk sehat jiwa (SEJIWA) yang disediakan pemerintah.
Konsultasi juga bisa kamu lakukan lewat fitur konsultasi online psikolog di KlikDokter, solusi untuk #JagaSehatmu.
(ADT/AYU)