Ada ungkapan yang mengatakan, “Kalau sudah jadi tabiat akan susah dihilangkan sampai kapan pun.” Termasuk tabiat kasar atau suka melakukan kekerasan, baik fisik maupun verbal. Meski memberikan kesempatan kedua kepada orang lain sangat dianjurkan agar bisa melanjutkan hidup dengan baik, tapi apakah sepadan jika hal itu diberikan kepada pria berwatak kasar?
Menurut dr. Dyan Mega Inderawati dari KlikDokter, kekerasan fisik seperti pukulan, tendangan, tamparan, cekikan, dan sejenisnya merupakan bentuk kekerasan rumah tangga yang paling mudah dideteksi.
Bicara soal kekerasan, dilansir BBC, lebih dari satu juta orang per tahun telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga di Inggris. Pertolongan yang diberikan pun selama ini hanya berfokus pada korbannya, dan langsung menghukum pelaku sesuai hukum di negara tersebut. Namun, hukuman kerap dijatuhkan tanpa berpikir bahwa pelakunya juga membutuhkan bantuan.
Kisah Andrew, pelaku kekerasan rumah tangga
Seorang narasumber BBC yang bernama Andrew merupakan pelaku kekerasan rumah tangga. Ia mengaku bahwa selama ini ia telah berlaku kasar terhadap pasangannya, Emma. Setelah tindakannya semakin parah, ia pergi meninggalkan keluarganya dan Emma berjuang sendiri untuk membesarkan anak mereka.
Setelah itu, keduanya mencoba menyembuhkan diri dengan cara masing-masing. Emma menjalani terapi untuk membangun kepercayaan dirinya kembali, sedangkan Andrew meminta bantuan kepada unit layanan yang bisa mengubah perilaku seseorang menjadi lebih baik (Phoenix Domestic Abuse Service).
Selama hampir setahun berada di bawah pertolongan itu, kondisi emosi Andrew kian membaik. Berkat program pelatihan dari unit pelayanan tersebut, Andrew jadi lebih bisa mengontrol diri dan memahami bahwa perilakunya dulu sangat buruk. Selama mengikuti program, Andrew mengikuti permainan peran (role-play), tugas pemecahan masalah, hingga sesi diskusi antarpria. Hasilnya, Andrew pun telah mengerti soal dampak yang ditimbulkan dari perilaku kasarnya selama ini kepada orang lain, khususnya kepada keluarganya.
Terbukti, setelah 2 tahun terpisah, kini Emma mengakui bahwa suaminya telah berubah lebih baik. Kini mereka berkumpul bersama lagi dengan anak-anak. Menurut ahli terapi Andrew dari unit pelayanan, sosok seperti Andrew sebenarnya butuh campur tangan orang lain untuk membantu mengendalikan perangainya itu. Karena kalau tidak dibantu dan disembuhkan, ia hanya akan mencari “korban” berikutnya.
Pentingnya terapi untuk pelaku dan korban
Diperkirakan setiap tahunnya, lebih dari 3.000 orang di Inggris menghadiri terapi semacam itu dan jumlahnya kian bertambah secara signifikan. Dan memang, sebagian besar yang menjadi pesertanya adalah laki-laki. Di sisi lain, rupanya terapi kekerasan rumah tangga yang hanya dilangsungkan selama beberapa minggu atau beberapa bulan itu tidak memberi efek positif apa pun terhadap pasangan lain.
Ada pula suami yang emosinya malah semakin tidak terkendali dan terus melakukan kekerasan fisik kepada istrinya. Jika sudah begitu, mereka berarti butuh terapi yang lebih kompleks, intensif, dan berlangsung bertahun-tahun lamanya. Sedangkan pasangannya (korban), harus menjalankan program paralel untuk menyembuhkan luka kejiwaannya, karena telah mengalami gangguan mental.
Jika ada pertanyaan manakah terapi yang paling baik antara terapi terhadap pelaku atau korban, jawabannya adalah keduanya. Pasalnya, jika masyarakat hanya memulihkan kondisi fisik dan kejiwaan dari korban, mereka hanya berputar-putar di lingkaran yang sama. Jadi, tidak menyembuhkan kondisi psikis si pelaku kekerasan. Hal ini sama saja dengan tidak menghilangkan akar permasalahan.
Di Indonesia sendiri, menurut dr. Dyan atas alasan apa pun, seorang istri atau suami tidak pernah dibenarkan untuk melakukan perlakuan kasar terhadap pasangannya. Hal ini tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT).
Seperti dipaparkan di atas, pada dasarnya tidak hanya korban yang perlu ditangani, namun pelaku pun harus mendapatkan terapi kejiwaan. Namun dengan catatan ada keinginan yang kuat dari pelaku untuk berubah. Jadi jika ditanyakan apakah pria berwatak kasar bisa berubah baik, jawabannya: bisa. Tapi sekali lagi, niat baik dan terapi saja tidak cukup jika tidak diikuti dengan pembuktian, bahwa ia telah menunjukkan sikap yang lebih baik terhadap pasangan dan orang-orang di sekitarnya.
[RS/ RVS]