Relationship

Lumrahkah Wanita Mengajak Menikah Duluan?

Dalam budaya patriarki, ada stereotip bahwa wanita seharusnya menunggu undangan. Pembahasan ini melibatkan banyak sudut pandang, termasuk agama, budaya, kesetaraan gender, dan norma sosial.

Lumrahkah Wanita Mengajak Menikah Duluan?

Siapa yang harus mengajak duluan untuk menikah adalah diskusi yang menarik untuk dibahas. Misalnya, dalam budaya patriarki ada stereotip bahwa wanita seharusnya menunggu untuk diundang menikah.

Pembahasan ini menjadi menarik karena melibatkan banyak sudut pandang, mulai dari agama, budaya, tren, kesetaraan gender, dan norma sosial.

Dalam artikel ini Psikolog Iswan Saputro akan berbagi sudut pandang tentang lumrahkah wanita mengajak menikah duluan dan stereotip yang berkembang.

Artikel lainnya: 8 Tanda Bahwa Kamu Telah Siap Menikah

Stereotip, Ekspektasi dan Emansipasi

Pemahaman tentang pernikahan seringkali diikuti dengan pertimbangan standar atau ekspektasi tertentu yang mengakar pada budaya, keyakinan, atau nilai yang dianut oleh seseorang.

Pemenuhan terhadap stereotip dan ekspektasi sosial kemudian membentuk kebiasaan sosial tertentu, salah satunya tentang siapa dan bagaimana cara memulai ajakan untuk menikah.

Salah satu stereotip yang sering ditemui adalah pria seharusnya yang mengajak wanita untuk menikah, bukan sebaliknya. Hal ini muncul dari budaya patriarki yang menganggap bahwa pria sebagai pihak yang dominan dan memimpin keputusan suatu hubungan.

Namun, kesadaran dan keberanian dalam memperjuangkan keberagaman (diversity), kesetaraan (equity), dan inklusivitas (inclusivity) menciptakan tatanan sosial yang lebih terbuka, salah satunya dalam menyuarakan pendapat.

Saat ini, wanita dapat mengambil peran dalam menentukan jalan hidupnya dan mendapatkan dukungan oleh kelompok masyarakat dalam bentuk gerakan emansipasi, salah satunya dalam keputusan untuk menikah.

Artikel lainnya: Yang Perlu Dipertimbangkan Sebelum Memutuskan Menikah di Usia Muda

Perkembangan Norma Sosial dan Kesetaraan Gender

Perkembangan norma sosial dan meningkatnya akses literasi dalam beberapa dekade terakhir membawa perubahan dalam mendefinisikan ulang tentang paradigma pernikahan.

Wanita tidak dianggap lagi sebagai objek pasif yang menunggu dan tidak berdaya dalam menentukan pilihan hidup terkait pernikahan. Wanita lebih berani menyuarakan aspirasi dan menentukan tujuan hidupnya.

Kesetaraan gender berperan dalam transformasi ini yang menguatkan kepercayaan diri wanita untuk berani mengambil inisiatif dan memprioritaskan kebahagiaannya.

Kondisi ini dapat menjadi pembenaran dan sumber dukungan bagi wanita untuk mendapatkan kepastian dalam hidupnya, salah satunya lumrah untuk membuka obrolan atau memulai ajakan menikah.

Wanita memiliki ruang untuk menentukan nilai yang dianut dalam konsep pernikahan dan tidak harus terikat patuh dengan budaya. Hal ini dapat berjalan ketika diikuti dengan sikap menghargai dan tidak merendahkan nilai-nilai sosial yang sudah ada.

Artikel lainnya: Tips Bangkit dari Keterpurukan setelah Gagal Menikah

Pentingnya Komunikasi dan Kesepakatan Bersama

Cara berkomunikasi memegang peranan penting ketika wanita ingin mengajak pasangannya untuk menikah. Perubahan stereotip dan perkembangan norma sosial jangan sampai melupakan sikap saling menghargai dan berusaha memahami.

Komunikasi yang terbuka, empatik, dan responsif dapat membuat pria dan wanita nyaman mengutarakan isi pikirannya, salah satunya ajakan untuk menikah. Wanita tidak harus menunggu dan dapat membuka diskusi pernikahan lebih dulu dibanding pria dalam hubungan.

Komunikasi yang baik akan membawa pada kesepakatan bersama dalam menjalani hubungan dan mempersiapkan pernikahan. Kesepakatan bersama dapat meminimalisir konflik, miskomunikasi, dan dampak negatif secara psikologis yang dirasakan.

Stereotip bahwa wanita seharusnya menunggu diundang untuk menikah, bukan mengajak sendiri sudah bergeser. Wanita memiliki hak yang sama dengan pria untuk mengambil inisiatif dalam urusan pernikahan, termasuk mengajak menikah duluan jika itu adalah keputusan yang tepat bagi mereka.

Dengan komunikasi yang terbuka dan kesepakatan bersama, pasangan dapat membangun hubungan yang sehat dan berdasarkan pada keseimbangan, saling pengertian, dan kesetaraan.

Dengan memecah stereotip dan menghargai pilihan individu, kita dapat menciptakan budaya pernikahan yang inklusif dan mendukung bagi semua orang.

Jika Kamu ada pertanyaan seputar tema diatas gunakan layanan Tanya Dokter untuk chat dengan psikolog dan jangan lupa buatlah jadwal konsultasi secara offline dengan psikolog di fitur Temu Dokter.

Yuk, download aplikasi KlikDokter sekarang juga dan belanja keperluan kesehatan lainnya di KALStore.