Kesehatan Mental

Mengikis Stigma Masalah Kesehatan Mental

Tim Redaksi KlikDokter, 31 Des 2021

Ditinjau Oleh Tim Medis Klikdokter

Stigma masih menjadi momok di seputar masalah kesehatan mental. Hal itu menciptakan kompleksitas di penanganan orang yang membutuhkan bantuan profesional.

Mengikis Stigma Masalah Kesehatan Mental

"Apa sih, lu nggak butuh psikolog," ucap Fima Meiza Siregar (27), mengenang omongan beberapa orang di sekitarnya pada 2019 lalu.

Fima waktu itu mengalami kegelisahan berat. Sebagai karyawan di sebuah bank swasta, ia dituntut harus bertemu banyak orang setiap hari.

Fima sebenarnya merupakan tipikal seorang introver yang lebih suka jauh dari keramaian. Tuntutan pekerjaan membuatnya harus mengatasi karakter itu.

Lama kelamaan mentalnya tidak lagi kuat. Dia mulai mengalami gejala mual hingga sakit kepala setiap bekerja. Keluhan itu makin lama makin mengganggu.

"Aku kalau ketemu sama banyak orang bisa, tapi harus ada waktu calm down dulu, ibaratnya ngecas energi baru bisa ketemu banyak orang lagi,” ia berujar.

Fima kian merasa ada yang salah dengan dirinya. Ia pun mencoba mencari pertolongan profesional dengan berkonsultasi kepada psikiater.

Singkatnya, ia didiagnosis mengalami gangguan kecemasan. Fima harus mengonsumsi obat resep untuk mengatasi keluhan yang muncul. 

Psikiater menyarankan dia untuk beralih ke pekerjaan lain yang lebih sesuai karakternya. Kondisi yang pernah dihadapi mendorong Fima berbagi pengalamannya kepada orang lain melalui media sosial.

Dalam beberapa kesempatan, ia mendorong orang lain untuk berani menyuarakan masalah mental mereka. Namun lagi-lagi, Fima masih menghadapi respons sumbang dari beberapa orang.

"Ada aja orang yang komen, 'Ngapain sih ke psikolog. Lo, tuh, cuma butuh Tuhan atau sholat aja'," katanya.  

Artikel Lainnya: Cek Dulu, Ini Tanda Anda Butuh Konsultasi ke Psikolog

Masalah Mental Tidak Berhubungan dengan Akhlak

Padahal, menurut Fima, ketaatan beribadah kerap kali tidak selalu berhubungan dengan masalah mental. Orang yang rajin beribadah pun, kata dia, juga mungkin mengalami depresi.

Kebetulan Fima punya latar belakang pendidikan biologi. Ia jadi tahu otak punya reaksi-reaksi kimiawi tertentu yang bisa membuat seseorang mengalami depresi.

"Artinya ke psikolog atau psikiater itu bukan hal yang bisa nilai dari akhlak seseorang," ia berujar. Fima memilih mengabaikan nyinyiran orang terhadap isu kesehatan mental.

Stigma terhadap masalah kesehatan mental memang masih menjadi momok. Nurul (25), misalnya, juga merasakan hal tersebut, tapi dalam bentuk yang berbeda.

Ia pernah mengalami masalah kesehatan mental pada 2017. Bila ada pemicu, emosinya bisa meledak begitu saja hingga berteriak histeris. Nurul termasuk orang yang terbuka dengan orang terdekat seputar kondisinya.

Namun, ia akan lebih berhati-hati mengungkapkan hal itu di lingkungan pekerjaan. Nurul sadar, masih banyak persepsi keliru masyarakat seputar kesehatan mental

Ia jadi khawatir bila perusahaan enggan  memiliki karyawan yang punya riwayat berkonsultasi dengan psikolog.

"Jadi aku usahain hal ini nggak mengganggu lingkungan profesional aku. Takutnya dianggap sebagai orang yang bermasalah gitu," ia menuturkan.

Stigma tidak hanya membatasi ruang gerak orang yang butuh bantuan masalah mental. Mereka juga acap kali menjadi enggan mencari bantuan profesional karena stigma itu. 

Artikel Lainnya: Waktu yang Dibutuhkan untuk Sembuh dari Depresi

Stigma Menambah Ketakutan

Hasil Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2018 bisa menjadi gambarannya. Survei tersebut menyatakan 15,6 juta orang di Indonesia mengalami depresi.

Hanya 8 persen di antaranya yang mencari pengobatan dari profesional. Faktornya memang bisa beragam.

Tapi soal stigma terhadap orang yang berkonsultasi ke psikolog dan psikiater bisa menjadi salah satunya. Retno Indaryati Kusuma, Ketua Bidang Humas Himpunan Psikologi Indonesia, mengamini hal itu.

"Dampaknya sangat memprihatinkan, penderita otomatis akan menyembunyikan penyakitnya, bahwa mereka takut berobat," ungkapnya.

Persepsi semacam itu yang perlu diubah. Ia menjelaskan, masalah mental merupakan hal yang lumrah terjadi pada semua orang.

Prinsipnya, kata Retno, semua orang pasti memiliki masalah. Perbedaannya terletak pada besar masalah dan kemampuan setiap orang yang tidak sama dalam menyikapi masalah.

"Jadi it’s okay if you feel not okay," ia menambahkan.

Menurutnya, perkembangan teknologi media sekarang sudah berhasil meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap kesehatan mental. Seseorang yang mengalami masalah kejiwaan dapat dengan mudah mencari informasi mengenai kondisinya.

Dari sana, mereka akan mengetahui masalah mental yang dia hadapi. Yang jadi masalah, lanjut Retno, mereka umumnya tidak melanjutkan penanganan kepada profesional.

Masalahnya kembali pada anggapan negatif terhadap orang yang punya masalah mental. Retno mencontohkan, kekhawatiran orang yang mengalami depresi akan dijauhi lingkungan sekitarnya.

"Jangan-jangan pacarku mutusin aku kalo aku punya ciri-ciri atau masalah dengan kejiwaanku," imbuhnya.

Stigmatisasi akhirnya menciptakan persepsi di benak orang yang punya masalah kesehatan. Mereka pun memilih tidak mencari pertolongan yang memadai dari profesional.

Artikel Lainnya: Efektifkah Cara Self-Healing dengan Merusak Barang?

Terlebih di era sekarang, di mana orang orang berusaha tampil sempurna di media sosial. Kondisi masalah mental cenderung ditutupi.

Hal itu menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak. Ketika kondisi mental tidak tertangani segera, penangananya pun akan butuh waktu lama dan lebih sulit.

"Jadi salah satu tantangan di zaman digitalisasi sekarang ini adalah ketakutan akan citra negatif," tegas Retno.

Di lapangan, tak sedikit orang dengan masalah kesehatan mental punya ketakutan dipandang miring oleh lingkungan sekitar.

Hal semacam itu merupakan makanan sehari-hari Maya Dita, Founder sekaligus Chief Enabler Officer dari Kata Djiwa Indonesia.

Kata Djiwa Indonesia merupakan platform kesehatan mental berbentuk support group. Platform ini mewadahi dan mempertemukan individu dengan permasalahan mental yang memerlukan ruang untuk bertukar pikiran.

Menurut Maya, sebagian peserta enggan terbuka bahwa mereka bergabung di support group. "Kadang-kadang mereka juga pakai nama palsu atau nickname gitu. Jadi, masih kayak ada ketakutan di-judge oleh lingkungan sekitar," ucapnya.

Artikel Lainnya: Selalu Terjebak Hubungan Toxic, Perlukah ke Psikolog?

Stigma Hambat Penyembuhan Masalah Mental

Stigma lingkungan sekitar, bahkan keluarga, bisa membuat seseorang kesulitan mencari pertolongan. Maya mencontohkan kasus yang pernah dihadapinya ketika menjadi fasilitator.

Anggota support group Kata Djiwa sebagian besar berusia 14-19 tahun, meski banyak juga yang berusia di atas 20 tahun. Maya pernah mendampingi seorang anak yang butuh pertolongan profesional.

Masalahnya, orangtua tidak memvalidasi permasalahan mental anak. Padahal, untuk anak di bawah umur, penanganan profesional butuh pendampingan dari orangtua atau orang terdekat.

"Jadi susah tuh dia untuk mendapatkan pertolongan dan segala macam," cerita Maya. "Akhirnya jadi blunder tuh dia. Mau ke mana-mana pun jadi susah. Mau minta tolong susah, nggak ditolongin juga enggak mungkin."

Lain waktu, ia harus membantu seorang anak yang telah dua kali berusaha bunuh diri. Penanganan profesional sudah mendesak.

Dari segi ekonomi, keluarga anak tadi mampu. Tapi orangtuanya justru menyepelekan apa yang dirasakan anak tersebut.

"Misalnya dia relaps di depan orang tuanya, orangtuanya akan marahin dia dan segala macam," kata Maya.

Artikel Lainnya: Tanda-Tanda Si Kecil Perlu Berobat ke Psikolog Anak

Menurutnya, saat ini sudah banyak saluran untuk mengedukasi publik soal masalah kesehatan mental. Meski sudah mulai ada kemudahan, masih saja ada orang yang punya anggapan keliru.

Meski ia menilai kondisinya semakin membaik seiring berjalannya waktu dibanding di masa lalu.

Bagi Maya, salah satu cara untuk menghancurkan tembok stigma itu hanya terus menerus tidak lelah mengedukasi.

Literasi terhadap masalah kesehatan mental perlu didorong lagi. Tujuannya untuk mengikis asosiasi negatif masyarakat terhadap masalah kejiwaan.

"Sering kali stigma muncul karena orang belum paham, karena informasi masih minim," imbuh Retno Indaryati Kusuma. 

Jika Anda punya keluhan mental yang mengganggu, jangan tunda untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.

Penanganan segera akan lebih menjamin pemulihan ketimbang membiarkannya semakin parah.

(JKT/AYU)

Liputan Khusus
psikologis
kesehatan mental